An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Mongabay, follows.
Because of the destruction of wetlands and the decline of the freshwater fish population, women living in the Musi River wetlands face economic and food losses. The environmental and economic decline impacts several traditions where women play an important role.
Also, a weak economic position is an obstacle for women seeking community leadership positions, including head of village.
The impact of the loss experienced by a community due to the destruction of Musi River wetlands could reach approximately hundreds of millions of rupiahs daily.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund more than 170 reporting projects every year on critical global and local issues. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Perempuan-perempuan yang Kehilangan Ikan dan Pengetahuannya
- Perempuan yang menetap di lahan basah Sungai Musi, saat ini, kehilangan sumber ekonomi dan pangan. Sebab populasi ikan air tawar terus berkurang atau hilang, sejalan rusaknya lahan basah.
- Kerugian yang dialami masyarakat, dampak rusaknya lahan basah Sungai Musi, mencapai puluhan hingga ratusan juta Rupiah per hari.
- Selain dampak ekonomi, juga terancam atau hilangnya sejumlah tradisi yang selama ini diperankan perempuan, seperti tradisi kuliner.
- Lemahnya posisi ekonomi perempuan, membuat tidak banyak perempuan mendapatkan kepercayaan untuk memimpin komunitasnya, seperti menjadi kepala desa.
Erjunawati [52], seperti umumnya perempuan di Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir [OI], Sumatera Selatan, perannya di rumah bukan hanya mencuci, membersihkan rumah, dan memasak. Juga, mencari pendapatan bagi keluarganya. Misalnya, menjadi perajin kemplang dan kerupuk.
“Para orang tua kami, mengajarkan cara mengelola semua ikan yang ditangkap, agar dapat dikonsumsi dan dijual. Semua ikan yang ditangkap, baik yang berukuran besar maupun kecil, harus diolah atau dimanfaatkan,” terangnya.
Ikan segar dimasak pindang, pepes, atau dipanggang. Jika berlebih, diolah menjadi ikan asap, ikan asin, terasi, dan pekasem [ikan difermentasi]. Selain itu, dibuat menjadi sejumlah penganan seperti pempek, kerupuk, dan kemplang.
Ikan yang sering dimasak pindang, yakni ikan lais [Kryptopterus bicirrhis], ikan baung [Hemibagrus nemurus], ikan tapah [Wallago], ikan gabus [Channa striata], ikan toman [Channa micropeltes], dan udang satang [Macrobrachium rosenbergii].
Masakan pepes biasanya menggunakan ikan belida sumatera [Chitala hypselionatus], ikan putak [Notopterus notopterus], ikan tembakang [Helostoma temminckii], ikan sepatung [Pristolepisgrootii], ikan lais, dan ikan tapah.
“Ikan yang sering dipanggang ikan gabus dan ikan toman,” kata Erjunawati.
Ikan yang sering diasap, antar lain ikan baung, ikan lais, ikan belida sumatera, ikan putak, ikan gabus, dan ikan toman. Sementara udang rebon [Acetes] dijadikan terasi.
“Hampir semua ikan dapat dijadikan ikan asin dan pekasem. Termasuk ikan yang tidak banyak disukai, seperti ikan-ikan berukuran kecil atau ikan yang dagingnya banyak tulang, yang kami sebut ikan sampah,” jelas ibu tiga anak ini.
Masyarakat di Desau Burai, tidak hanya menjual ikan segar. Mereka juga menjual kemplang, kerupuk, ikan asap, dan ikan asin.
“Itulah sumber pendapatan perempuan di sini, seperti halnya nenek dan ibu kami. Uangnya dipergunakan buat keperluan pribadi dan kebutuhan anak-anak kami, seperti biaya sekolah,” kata Erjunawati.
Itu dulu. “Sekarang, populasi ikan di desa kami terus berkurang. Tidak banyak lagi yang membuat ikan asap dan ikan asin. Hanya sebagian perempuan bertahan membuat kemplang dan kerupuk. Sebagian mengambil upahan menenun songket [kain tradisional Palembang].”
Jika sebelumnya, seorang perempuan di Desa Burai berpenghasilan kisaran Rp5 juta per bulan dari mengelola ikan air tawar, “Sekarang ini, kisaran Rp1-1,5 juta,” lanjutnya.
Dijelaskan Erjunawati, sejak populasi ikan air tawar di desanya terus berkurang, sebagian besar laki-laki tidak lagi mencari ikan. Mereka berkebun sayuran dan buahan atau merantau ke daerah lain, menjadi tukang kayu.
Utami Dewi [47], warga Desa Sungai Rasau, Kecamatan Pemulutan Kabupaten OI, mengatakan, “Ikan adalah hidup saya. Ikan yang menghidupi keluarga saya, termasuk menyekolahkan anak-anak saya.”
Utami, orangtua tunggal dari empat anak, sudah delapan tahun berdagang ikan segar dan olahan di sebuah pasar tradisional di Jakabaring, Palembang.
Ikan-ikan yang tidak laku dijual, atau yang harganya murah di pasaran, “Saya buat menjadi pekasem, ikan asin, dan ikan asap, sehingga laku dijual dengan harga yang lebih baik.”
“Ibu saya yang mengajarkan cara membuat ikan asin, ikan asap, dan pekasem. Saya membuatnya dari remaja, sebelum menikah,” tuturnya.
Di Pemulutan, jelas Utami, populasi ikan terus berkurang. Masyarakat yang sebelumnya hidup dari menangkap ikan, kini memilih menjadi buruh perkebunan, buruh bangunan atau tukang ojek online.
“Bahkan banyak yang merantau ke Batam, Tangerang, atau ke Malaysia, menjadi buruh atau pembantu [asisten rumah tangga].”
Selama dua tahun terakhir, pendapatan Utami dari berdagang ikan mengalami penurunan hingga 50 persen.
“Sebelumnya, pendapatan saya kisaran Rp300-400 ribu per hari. Dua tahun terakhir, ya, antara Rp100-200 ribu per hari.”
Hampir 10 tahun, Rusni [60] dan suaminya bertahan hidup dari berjualan kemplang. Suaminya yang menderita penyakit rematik, tidak lagi mencari ikan di sungai, bersawah padi atau mengembala kerbau rawa [Bubalus bubalis carabanesis].
“Kami hidup hanya dari berjualan kemplang,” kata Rusni, perajin kemplang yang bertahan di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI].
Rusni, bukan hanya mengolah daging ikan menjadi kemplang. Hampir setiap hari, dia mencari ikan di Sungai Pampangan. “Kalau mau dapat untung, ikannya harus dicari di sungai. Kalau ikannya dibeli, tidak dapat untung. Membuat kemplang juga menggunakan tepung kanji dan garam, yang harus dibeli.”
Satu lembar kemplang berukuran kecil [diameter 5 centimeter] dijual Rp500, sementara berukuran besar [diameter 10 centimeter] dijual Rp1.000. Dalam satu bulan, kisaran satu juta rupiah didapatnya dari berjualan kemplang.
“Empat anak kami merantau. Tidak banyak pekerjaan di dusun. Ikan-ikan sudah habis. Banyak warga di sini yang meninggalkan dusun, mencari kerja di luar. Kerja apa bae, yang penting punya penghasilan,” ujar Rusni.
Erjunawati, Utami Dewi, dan Rusni adalah perempuan yang masih bertahan dengan tradisi kuliner dari ikan air tawar, baik sebagai sumber pangan maupun ekonomi. Sementara banyak perempuan yang menetap di lahan basah Sungai Musi kehilangan tradisi kulinernya.
“Sekitar enam tahun, saya tidak lagi berjualan kemplang, kerupuk, atau pempek. Ikan-ikan di sini sudah sulit didapatkan. Ikan-ikan sampah saja harganya sudah mahal, sehingga untungnya tidak banyak dari berjualan kemplang, kerupuk, atau pempek. Kami pun sekarang ini sudah jarang makan ikan. Lebih sering makan mie instan,” kata Yuk Ruk [59], warga Desa Terusan Menang, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten OKI.
Guna menghidupi dirinya, Yuk Ruk, yang sudah delapan tahun menjanda, beralih berjualan makanan gorengan, seperti pisang goreng dan ubi goreng.
Rusaknya Lebak Lebung Belanti, dampak hadirnya perkebunan sawit di wilayah rawa gambut Sepucuk, membuat Yuk Ruk bukan hanya kesulitan mendapatkan ikan, juga tidak dapat lagi bersawah padi dan berkebun buah durian [Durio] serta duku [Lansium domesticum].
“Perkebunan sawit itu memutus jalur air dari Lebak Lebung Belanti ke Sepucuk. Jika musim penghujan, air lebak meluap, sementara di musim kemarau seperti sekarang ini, lebak menjadi kering. Pohon-pohon pun mati atau sulit berbuah. Padahal duku dari sini terkenal, karena rasanya manis. Kalau bersawah, banyak gagalnya. Sedangkan ikan-ikannya terus habis,” jelasnya.
Dijelaskan Yuk Ruk, sudah 10 tahun terakhir, banyak warga di Sirah Pulau Padang yang merantau ke luar mencari pekerjaan. Seperti ke Batam, Tangerang, Malaysia, dan Taiwan. “Tidak ada ikan, tidak ada kebun, tidak ada sawah, ya, apa lagi yang diharap. Terpaksa merantau kalau mau hidup.”
Mereka yang merantau tidak semuanya sukses. Tidak sedikit yang mengalami kekerasan hingga meninggal dunia. Seperti yang dialami Sepri dan Ari, yang bekerja di kapal penangkap ikan Long Xing 629. Kapal milik Dalian Ocean Fishing [DOF], perusahaan ikan asal Tiongkok yang beroperasi di Samudra Pasifik dan Atlantik.
Desi Aryani [42], sudah lima tahun tidak lagi membuat ikan asin dan pekasem untuk diperdagangkan. “Ikan di Sungai Kelekar sudah terus berkurang. Pendapatan dari menjual ikan hasil tangkapan saya dan suami, juga tidak mencukupi kebutuhan keluarga kami,” kata warga Desa Muara Penimbung Ilir, Kecamatan Inderalaya, Kabupaten OI.
“Kami sekarang bersawah padi, memelihara bebek, dan kambing untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tidak lagi bergantung dari mencari ikan,” kata ibu satu anak ini, sambil masak ikan sarden dan mie instan untuk makan malam keluarganya.
“Sejak saya remaja, banyak perempuan dan laki-laki di sini merantau ke luar negeri, seperti ke Malaysia, mencari pekerjaan,” jelas Desi.
“Puluhan tahun kami tidak berjualan ikan, kemplang, ikan asin, ikan asap atau pekasem. Bahkan tidak ada lagi yang menetap di rawang. Sebagian sudah pindah ke daratan. Kami berkebun sayuran atau menjadi penyadap getah karet [buruh] di kebun milik orang lain,” kata Taya [52], warga Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI.
Sementara para lelakinya, banyak yang merantau ke Jambi, Riau, Kalimantan, dan Bangka. “Kalau ke Jambi, Riau, dan Kalimantan, dulunya menjadi buruh perusahaan kayu. Sementara yang merantau ke Pulau Bangka, seperti sekarang ini, menjadi penambang timah.”
Penelitian yang dilakukan Handoyo bersama Yanto Rochmayanto, Fitri Nurfatriani, dan Dian Charity dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – kini bergabung dengan BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional] – tahun 2018, terhadap komunitas rawang sebagai hidden population di Desa Perigi dan Desa Riding, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, menunjukkan komunitas tersebut mengalami kerugian mencapai puluhan hingga seratusan juta Rupiah per hari, dampak dari perubahan bentang alam.
Komunitas rawang adalah kelompok masyarakat yang hidup di rawang. Rawang adalah lahan rendah. Terendam air saat musim penghujan, kering saat musim kemarau. Lahan rawang berupa gambut atau non-gambut.
“Kerugian ekonomis tertinggi berupa perubahan pendapatan komunitas rawang dan masyarakat tempatan akibat struktur penguasaan lahan di lokasi penelitian mencapai Rp332.637.233 per hari pada kasus penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan sawit. Sedangkan untuk kasus penguasaan lahan oleh CA [Cagar Alam] Sebokor, kerugiannya mencapai Rp2.000.000 per hari,” tulis penelitian tersebut.
Selanjutnya, “Kerugian negara akibat struktur penguasaan lahan di lokasi penelitian di level sub nasional Sumatera Selatan adalah sebesar Rp6.017.459.989 per tahun dari hasil penghitungan total biaya eksternalitas lingkungan dengan pendekatan biaya pencegahan dan penggantian fungsi SDA [Sumber Daya Alam] oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.”
Jumlah penduduk Sumatera Selatan sekitar 8,4 juta jiwa. Lebih kurang 5,3 juta jiwa hidup di kabupaten dan kota yang memiliki lahan basah. Seperti di Kabupaten OKI [787.513 jiwa] Kabupaten OI [408.703 jiwa], Kabupaten Banyuasin [854.628 jiwa], Kabupaten Muba [649.095 jiwa], Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [190.062 jiwa], Kabupaten Musi Rawas [405.175 jiwa], Kabupaten Musi Rawas Utara [192.540 jiwa], dan Palembang [1.843.000 jiwa].
“Rusaknya lahan basah di Sumatera Selatan, jelas memberikan dampak buruk bagi jutaan manusia yang hidup di sekitarnya. Baik yang mengakses langsung maupun tidak langsung lahan basah. Bukan hanya persoalan ekonomi, juga pangan, kesehatan, hingga budaya. Penelitian kami sebagai upaya menjelaskan salah satu dampaknya, yakni ekonomi,” kata Handoyo.
Tradisi-tradisi yang hilang
Dr. Amilda Sani, antropolog di Palembang, menyatakan perempuan yang paling terdampak dari berkurang dan hilangnya populasi ikan air tawar di lahan basah Sungai Musi. Sebab, perempuan yang lebih dominan dalam memanfaatkan ikan air tawar.
“Yang paling utama, perempuan kehilangan sumber makanan [protein] bagi keluarganya. Perempuan harus mengantisipasi dengan mencari alternatif sumber makanan lain. Dan, yang paling buruk perempuan kehilangan pengetahuan mereka terhadap lingkungan dan bersama sumber dayanya,” kata Amilda.
“Ketika perempuan kehilangan pengetahuan terhadap lahan basah bersama sumber dayanya, maka perempuan akan kehilangan kemandirian, sehingga bergantung pada pihak lain, baik pangan maupun ekonomi.”
“Sungai dan lebak memberikan pilihan rasional bagi mereka untuk mengembangkan pengetahuan yang menghindarkan mereka dari persoalan ekonomi dan pangan,” jelasnya.
Dian Maulina, pengajar di UIN Raden Fatah Palembang mengatakan, “Hilang atau berkurangnya populasi ikan air tawar, membuat hilangnya sejumlah tradisi yang menjadi kunci dari kebudayaan bahari di Sumatera Selatan. Misalnya tradisi mencari ikan, tradisi membuat perahu, tradisi membuat alat tangkap ikan, serta tradisi kuliner.”
Perempuan terlibat pada berbagai tradisi tersebut. “Bahkan pada tradisi kuliner, peran perempuan sangat dominan,” kata Dian, yang pernah mendampingi sejumlah kelompok perempuan pada masyarakat lahan basah Sungai Musi dalam proyek SSFFMP [South Sumatra Forest Fire Management Project].
“Jika berbagai tradisi tersebut hilang, maka jejak kebudayaan bahari di Sumatera Selatan pun hilang,” kata Dian.
Di dalam kebudayaan masyarakat Sumatera Selatan, perempuan tidak dapat dipisahkan dengan air. “Hubungan perempuan dengan air, seperti hubungan ibu dengan anak,” kata Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang.
“Perempuan dipahami sebagai pelindung semua makhluk hidup di air. Mulai dari ikan, buaya [Crocodylus porosus], labi-labi [Amyda cartilaginea], dan lainnya. Perempuan diposisikan sebagai manusia yang dapat memahami alam. Perempuan mampu merawat alam. Keyakinan tersebut, membuat perempuan banyak menjadi dukun atau pawang.”
Mitos antu banyu atau hantu air yang hidup di Sungai Musi menjelaskan pemahaman tersebut. Antu banyu adalah makhluk hidup yang berjenis kelamin perempuan.
Dengan pemahaman tersebut, “Jika lahan basah rusak maka hilang pula kepercayaan bahwa perempuan adalah perawat alam.”
Posisi perempuan melemah
Pada abad ke-17, Ratu Sinuhun, isteri Pangeran Sido Ing Kenayan yang berkuasa di Palembang [1636-1642], menulis kitab “Simbur Cahaya”. Kitab yang dijadikan pranata hukum adat, yang juga mengatur persamaan gender perempuan dan laki-laki.
Pranata hukum adat Simbur Cahaya ini berlaku di wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang [Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung], dari wilayah pegunungan hingga pesisir.
“Perempuan mendapat perlakuan tersebut dikarenakan mereka memiliki pengetahuan dalam mengelola kekayaan alam, baik sebagai sumber pangan maupun ekonomi. Termasuk pula perempuan yang menetap di lahan basah,” kata Ade Indriani Zuchri, Tenaga Ahli Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigran [Kementerian Desa PDTT].
Tapi ketika perempuan kehilangan ikan air tawar, dikarenakan perubahan bentang alam, posisi perempuan di komunitasnya melemah atau berkurang. Sebab, perempuan tidak lagi dominan dalam mengelola kekayaan alam. Perkebunan skala besar dan industri yang memanfaatkan lahan basah, didominasi laki-laki.
Lemahnya posisi tersebut membuat tidak banyak perempuan mendapatkan kepercayaan untuk memimpin komunitasnya. Dari 1.069 desa yang tersebar di Kabupaten OKI [314 desa], Kabupaten OI [227 desa], Kabupaten Banyuasin [288 desa], dan Kabupaten Muba [240 desa], yang merupakan wilayah lahan basah, tidak sampai 10 persen perempuan yang menjadi kepala desa.
“Minimnya perempuan menjadi pemimpin di komunitasnya, membuat pengetahuan mengelola kekayaan alam secara berkelanjutan juga hilang,” kata Ade, yang juga Direktur OWA Indonesia Institute, sebuah lembaga yang fokus pada persoalan perempuan di Sumatera Selatan.