An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
Residents of the East Nusa Tenggara (NTT) region in Indonesia have adapted to living on small, dry, and rocky islands. They have a deep knowledge of various wild foods, including how to skillfully process toxic ingredients to ensure food security. In addition to carbohydrate sources that are adapted to the dry climate, NTT is rich in beans, which serve as an important source of vegetable protein and are commonly used alongside corn to make "bose corn," a staple food for the Timorese residents.
Mapping conducted in 14 NTT villages in August 2023 revealed that residents are knowledgeable about numerous bean varieties as food sources. On average, people in these areas consume 6-14 types of beans out of the more than 20 varieties found in NTT.
These beans, both cultivated and wild, have adapted to local ecosystems. Some wild beans contain natural toxins like cyanide, making them toxic, but residents know how to process them safely for consumption. For instance, the toxic beans are boiled repeatedly, up to 12 times, to remove the poison. Different regions may have unique methods for detoxifying these beans.
This knowledge is considered a valuable heritage that must be preserved and serves as an essential food reserve during times of scarcity. However, the decline in the consumption of wild foods, despite their biodiversity and cultural richness, is a concern, contributing to various nutritional problems in Indonesia.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Tradisi Makan Kacang Beracun, Penopang Ketahanan Pangan NTT
Pengetahuan warga NTT mengonsumsi makanan segar alami, termasuk kacang beracun, merupakan warisan berharga yang harus dijaga.
Hidup di pulau-pulau kecil yang kering dan berbatu, masyarakat di Nusa Tenggara Timur tak hanya tergantung pada pangan dari hasil budidaya. Mereka juga memiliki pengetahuan untuk meramu dan mengolah ragam pangan liar, yang sebagian beracun, untuk mendukung ketahanan pangan.
Selain keragaman sumber karbohidrat, yang umumnya memiliki daya tahan pada kondisi iklim kering, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga amat kaya dengan kacang-kacangan yang jadi sumber protein nabati. Kacang-kacangan ini biasa direbus bersama jagung jadi jagung bose, pangan pokok warga Pulau Timor.
Pemetaan yang kami lakukan pada Agustus 2023 di 14 desa di Pulau Timor, Pulau Adonara, Sumba, Flores, dan Lembata menunjukkan warga mengenal banyak ragam kacang sebagai sumber pangan. Narasumber biasa mengonsumsi 6-14 jenis kacang, dari lebih dari 20 jenis kacang di NTT.
”Kacang-kacangan merupakan elemen penting pangan lokal di NTT. Bahkan, di Pulau Lembata ada ritual makan kacang yang menunjukkan fungsi penting kacang dalam tradisi lokal,” kata Maria Loretha, petani sorgum dan pangan lokal dari Kabupaten Flores Timur, NTT.
Sebagian besar kacang ini dibudidayakan di ladang kering dengan sistem tanaman campuran. Kacang budidaya yang kerap dikonsumsi di NTT adalah arbila besar, arbila kuning, arbila telur cicak, arbila kuning-putih, arbilla pohon, arbila wangi, kacang merah, kacang buncis, kacang nasi merah, kacang panjang lokal loreng, dan banyak lagi.
Sebagian kacang yang dikonsumsi di NTT bersumber dari tanaman liar (wildfood) alias tumbuh di hutan. Kacang-kacang hutan ini umumnya mengandung racun sianida sehingga tidak dibudidayakan.
Di antara kacang beracun yang kerap dikonsumsi itu adalah arbila beracun atau yang di Pulau Timor disebut kot laso, arbila hitam (kot metan), arbila kuning (kot molo), dan arbila kuning putih (kot molmuti).
Meski beracun, warga mengenali cara menghilangkan racunnya sehingga bisa dikonsumsi. Marlinda Nau atau dipanggil Mama Fun (40), dari Komunitas Lakoat Kujawas di Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, menuturkan, untuk menghilangkan racun pada kacang biasanya dengan direbus secara berulang kali, hingga 12 kali. ”Di tempat lain mungkin beda-beda,” ujarnya.
Menurut Mama Fun, kacang beracun itu banyak tumbuh di dalam hutan Molo. Saat musim hujan, kacang yang berbentuk seperti kacang koro ini akan mulai tumbuh dengan sendirinya dan bisa dipanen setelah kemarau.
Ketika masih kecil, ia kerap diajak masuk hutan oleh neneknya untuk memetik kacang beracun itu pada musim kemarau. Kacang-kacang itu dikupas, dijemur, dan setelah kering disimpan dalam Ume Khubu, rumah bulat khas Timor. Ketika stok makanan menipis, kacang-kacang beracun itu dimasak bagi keluarga.
Direndam di Laut
Di Pulau Lembata, pengetahuan lokal untuk menghilangkan racun kacang itu melibatkan perendaman di air laut. Rafael Raya (78), warga Desa Kolontobo, Kecamatan Ile Ape, yang ditemui pada Sabtu (12/8/2023) sore itu mengolah kacang beracun yang di kampungnya disebut ippa. Kacang ini banyak tumbuh liar di kaki Gunung Ile Lewotolok.
Sore itu dia tengah menyangrai ippa hingga berwarna merah kecokelatan. Dengan tangan kosong ia menjumput satu per satu kacang itu dari dalam tembikar lalu dipipih menggunakan batu.
Selesai memipih sekitar satu kilogram, ia memasukkan ippa ke dalam tas yang terbuat dari anyaman lontar. Tas lalu dibawa ke hutan mangrove lalu digantung. Posisi tas terendam di dalam air dibiarkan selama lebih kurang 24 jam sebelum diambil kembali.
”Ippa harus kena air laut supaya racunnya hilang,” ujar Rafael. Ia mengingatkan, mengonsumsi ippa yang masih beracun bisa mengakibatkan kematian.
Setelah direndam di laut, ippa umumnya berasa sedikit asin. Kita bisa memakannya langsung atau mencampurnya dengan aneka pangan lain.
Merendam ippa di dalam air laut merupakan salah satu cara menawarkan racunnya. Selain itu, orang Lembata mengenal cara yang mirip dengan di Timor, yaitu merebusnya berulang. ”Rebus minimal tujuh kali. Setelah itu, bisa dimakan kosong atau ditumis campur dengan kelapa,” katanya.
Tumbuh dengan cara merambat, warga setempat menyebut kacang ippa ini sebagai anggur hutan. Rafael dan istrinya, Regina Belina (80), merupakan satu-satunya keluarga di kampung itu rutin mengolah ippa. Mereka mengonsumsinya sebagai protein. ”Makan ippa dari pagi, malam baru rasa lapar. Ippa bikin tahan lapar,” tambah Regina.
Ketika terjadi kelaparan pada tahun 1960-an, menurut Regina, ippa menjadi penyelamat bagi masyarakat di kampung tersebut dan sekitarnya. Kala itu, komoditas berupa padi, jagung, dan ubi mengalami gagal panen akibat kemarau panjang dan diserang hama tanaman.
Isidorus Doris (45), guru di Kolontobo, mengatakan, kini hampir semua warga di sana beralih mengonsumsi beras. Saat ditanya tentang ippa, banyak dari mereka mengaku tidak tahu. Sementara mereka yang tahu mengarahkan ke rumah Rafael dan Regina.
Selain untuk konsumsi, lanjut Doris, ippa dapat digunakan sebagai obat bagi mereka mengalami keseleo. Caranya, ippa dihancurkan, dicampur air, lalu ditempel pada bagian tubuh yang mengalami keseleo. ”Kurang dari dua jam sudah reda,” ucapnya.
Buah mangrove
Tak jauh dari Desa Kolontobo, warga Desa Watodiri memiliki pengetahuan lokal untuk mengonsumsi buah mangrove. Buah mangrove yang dikonsumsi ini biasanya dari spesies Bruguiera gymnorrhiza. Warga setempat menyebutnya kewaka. Wilayah itu berada di pesisir pantai dengan hutan mangrove memanjang sejauh 6 kilometer.
Cara pengolahan buah kewaka lebih mudah. Kulit buah dikupas kemudian direbus cukup satu kali untuk menghilangkan rasa pahit. Setelah itu, buah kewaka yang seukuran jari tangan itu diiris lalu dicampur dengan parutan kelapa.
Kepala Desa Watodiri Robertus Sayang Ama mengatakan, buah kewaka masih dikonsumsi warga di desa berpenduduk 792 jiwa itu. Mereka biasa mengonsumsinya ketika persediaan makanan di kebun berkurang pada musim kemarau panjang seperti saat ini.
”Biasanya mulai Oktober sampai tiba musim panen di kebun pada April tahun berikutnya. Kewaka ini adalah cadangan makanan kami,” kata Robertus.
Pengetahuan warga di NTT untuk mengonsumsi aneka sumber makanan segar yang disediakan alam, seperti kacang-kacangan beracun hingga buah bakau, merupakan warisan berharga yang harus dijaga. Pengetahuan ini didapatkan dari eksperimen panjang, yang bisa jadi menelan banyak korban nyawa leluhur.
Di banyak tempat lain di Indonesia, konsumsi pangan liar semakin jarang dipraktikkan. Misalnya, penelitian Lukas Pawera dkk (jurnal Foods, 2020), mengidentifikasi 106 spesies sumber pangan liar di Minangkabau dan Mandailing.
Pawera menemukan, meski kedua komunitas ini memandang pangan liar secara positif, konsumsinya telah menurun selama generasi terakhir. Alasan utamanya adalah ketersediaannya semakin terbatas dan perubahan gaya hidup.
Apalagi, secara nasional, berkah keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya pangan lokal kian tergusur politik pangan yang menyeragamkan dan industri pangan instan.
Padahal, menurunnya konsumsi makanan segar yang dapat disediakan keanekaragaman hayati Indonesia, menurut (Nurhasan dkk, CIFOR, 2021), berkontribusi membawa Indonesia menanggung sejumlah beban masalah gizi, yaitu tengkes, wasting, dan obesitas, serta kekurangan zat gizi mikro.