An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
Small islands in Indonesia, dependent on rice and wheat, possess various local food sources that can adapt to environmental conditions. Encouraging the production and consumption of local food can help restore community independence and food security. This transformation requires collaboration between central and local governments.
The recent surge in rice prices, affecting small islands including East Nusa Tenggara (NTT), has prompted calls for a more serious approach to developing resilient local food sources. Farmers like Maria Loretha, a sorghum farmer from Adonara Island, East Flores, are advocating for a shift towards local foods. They emphasize that communities have the knowledge of local food sources that are well-suited to their regions.
Many areas in Indonesia have a wide variety of local food sources beyond rice and wheat. These local foods have been largely overshadowed due to the intensive promotion of rice. Local farmers have successfully cultivated other crops such as cassava and corn, which have become essential staples in certain regions.
While some areas have experienced crop failures and high grain prices, local governments remain committed to making local food an option. However, promoting and mainstreaming local foods requires ongoing collaboration and development efforts.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Solusi dari Kepulauan untuk Kemandirian Pangan
Lonjakan harga beras yang memukul penduduk di pulau kecil harus menjadi titik balik untuk mengembangkan pangan lokal.
JAKARTA, KOMPAS—Pulau-pulau kecil di Indonesia yang saat ini bergantung pada beras dan terigu rata-rata memiliki beragam sumber pangan lokal yang adaptif terhadap kondisi lingkungan. Mendorong kembali produksi dan konsumsi pangan lokal akan mengembalikan kemandirian masyarakat. Hal ini membutuhkan keberpihakan dari pemerintah pusat dan daerah.
”Sistem pangan di NTT telah beradaptasi terhadap iklim kering. Ada banyak sumber makanan yang tumbuh di tanah ini, tetapi memang tidak bisa kalau dipaksa semua harus menanam padi sawah. Jadi, kalau ukurannya kecukupan beras, NTT akan selalu kurang, tetapi kalau pangan lokal cukup banyak,” kata Maria Loretha, petani sorgum dan penggerak pangan lokal dari Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (17/10/2023).
Maria mengatakan, lonjakan harga beras yang sekarang memukul para penduduk di pulau-pulau kecil, termasuk NTT, harus menjadi titik balik untuk lebih serius mengembangkan pangan lokal yang terbukti lebih berdaya tahan. ”Saat ini masyarakat memang kesulitan dengan lonjakan harga beras. Saat ini harganya sudah di atas Rp 17.000 per kg, tetapi kami khawatir beras di Adonara dan Lembata akan tembus di atas Rp 20.000 per kg,” katanya.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Namun, Maria mengatakan, lonjakan harga beras ini jangan jadi alasan untuk memberikan bantuan beras lagi. ”Kalaupun ada bantuan atau operasi pasar, cobalah menggunakan pangan lokal yang ada di daerah masing-masing. Kalau di Flores Timur, misalnya, stok sorgum di petani masih banyak,” katanya.
Menurut Maria, saat harga beras naik saat ini, kelompok petani sorgum yang dipimpinnya bersama Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) justru menurunkan harga jual sorgum. ”Kami sekarang memberi subsidi dengan menurunkan harga sorgum kami menjadi Rp 13.000 per kg. Ini bisa jadi momentum untuk mengenalkan kembali masyarakat dengan ragam pangan lokal yang ada di sekitarnya,” katanya.
Maria menambahkan, pemerintah daerah dituntut memiliki keberpihakan yang nyata terhadap pangan lokal. ”Pemerintah stop, berhenti hanya urus beras, butuh keberpihakan pada pangan lokal. Ini bisa dimulai dengan setiap acara kenegaraan ataupun di dalam keluarga sekalipun menyambut tamu harus menyajikan beragam makanan lokal. Masyarakat di daerah yang sedemikian lama dibuat malu dengan pangan lokalnya, harus dikembalikan agar bangga mengonsumsi pangan yang tumbuh di sekitarnya,” tuturnya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kepulauan Mentawai Hatisama Hura mengakui, pangan lokal dari sagu, keladi, dan pisang sangat besar perannya untuk ketahanan pangan di Mentawai. ”Itulah yang diharapkan membantu menstabilisasi harga (beras) di sini selain intervensi dari pemerintah,” kata Hatisama.
Keberagaman sumber pangan
Dalam liputan ini kami melakukan pendataan keberagaman pangan di 14 desa di NTT, Sulawesi Tenggara, dan Kepulauan Mentawai. Masyarakat di desa-desa ini rata-rata memiliki pengetahuan tentang beragam sumber pangan lokal yang pernah menjadi bagian penting dari tradisi pangan mereka, baik karbohidrat, protein, maupun sayur-sayuran.
Sebagian pangan itu ada di alam atau bisa dipanen tanpa budidaya dan mengandung racun. Meski demikian, masyarakat lokal rata-rata juga memiliki kemampuan untuk menghilangkan racun-racun alami ini sehingga mengolahnya menjadi makanan yang bergizi.
Misalnya, di Pulau Muna dan Sumba Timur, sebagian masyarakat masih bisa mengolah dan mengonsumsi umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) yang mengandung racun sianida. Di Muna, umbi ini disebut sebagai kalope dan banyak tumbuh liar di hutan. Sementara di Sumba Timur, umbi ini disebut sebagai litang dan keberadaannya juga masih berlimpah.
Data yang disampaikan Koordinator Program Voice for Climate Action Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Dina Soro menguatkan temuan kami di lapangan. Dalam survei Pikul pada 2013, di NTT terdapat 36 golongan pangan lokal dari serealia, kacang-kacangan, dan umbi-umbian.
Ke-36 golongan pangan dimaksud berasal dari empat kabupaten, yakni Lembata, Sabu, Rote, dan Timor Tengah Selatan. Sementara itu, di NTT terdapat 22 kabupaten/kota. ”Setiap daerah punya makanan khas. Kami yakini masih banyak yang belum terdata,” ucapnya.
Menurut Dina, pangan lokal mulai tergeser setelah program cetak sawah untuk padi yang gencar dilakukan sejak era Orde Baru. Tahun 1970, produksi beras di NTT masih di bawah 30.000 ton. Hampir semuanya adalah tadah hujan. Angka itu kemudian meningkat setelah intervensi pemerintah lewat cetak sawah di sejumlah daerah.
Kendati intervensi program untuk beras sangat tinggi, lanjut Dina, produktivitas padi di NTT bukan yang tertinggi. Tertinggi adalah ubi kayu yang melampaui 800.000 ton per tahun, diikuti jagung yang mendekati 600.000 ton per tahun. ”Ini karena iklim dan kondisi alam di NTT memang tidak cocok untuk padi sawah,” ujarnya.
Tingginya produktivitas pangan selain beras bukan karena intervensi pemerintah. Petani lokal yang mengerjakannya sendiri. Secara regulasi, pemerintah hanya menaruh perhatian pada komoditas padi, jagung, dan kedelai.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Tenggara Rusdin Jaya mengungkapkan, saat ini memang terjadi gagal panen di sejumlah wilayah. Hasil panen yang ada saat ini juga lebih banyak dikirim ke luar daerah akibat tingginya permintaan dan harga gabah yang tinggi. Namun, tingginya harga beras saat ini di daerahnya lebih disebabkan ulah spekulan yang mengerek harga menjadi tinggi.
Menurut dia, hingga pekan kedua Oktober, gagal panen terjadi di 1.295 hektar lahan sawah. Jumlah ini terus meningkat dari 824 hektar di pertengahan September lalu. Luasan lahan terdampak kekeringan secara total mencapai 6.070 hektar.
Meski begitu, masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan akan stok beras. Sebab, luas panen di 2023 ini diperkirakan seluas 116.173 hektar dengan produksi rata-rata 4,2 ton per hektar. Estimasi produksi mencapai 271.285 ton beras, dengan komsumsi 254.009 ton.
”Untuk stok masih aman hingga Desember mendatang. Masih ada 13.050 ton yang akan ada hasil panen sampai akhir tahun ini. Kami perkirakan panen beras masih surplus,” katanya.
Hasil panen beras Sultra selama dua tahun terakhir surplus. Pada 2022, produksi beras untuk pangan mencapai 284.512 ton, dengan komsumsi 269.000 ton. Sementara itu, pada 2021, produksi sedikit lebih tinggi, yaitu 314.849 ton, dengan komsumsi 269.000 ton. Sekalipun demikian, pulau-pulau kecil di Sultra, seperti Wakatobi, sama sekali tidak memiliki produksi beras.
Beras, tambah Rusdin, memang telah menjadi makanan utama masyarakat Sultra, menggeser pangan lokal yang dulunya menjadi makanan keseharian masyarakat, baik itu jagung maupun ubi.
Di sisi lain, Rusdin menambahkan, pemerintah tetap mengupayakan agar pangan lokal tetap menjadi pilihan. Salah satunya dengan aturan pengelolaan pangan lokal dan pengembangan di wilayah. Hanya saja, pengembangan dan pengarusutamaan pangan lokal merupakan kerja bersama yang harus terus dikembangkan.