An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Riauterkini.com, follows.
The Tanam Nasional Tesso Nilo (TNTN) conservation area in Riau, which serves as the habitat for Sumatran elephants, is now under threat from the expansion of palm oil plantations. One of these is the plantation owned by the Lubuk Indah Cooperative in the village of Lubuk Batu Tinggal, Indragiri Hulu District, located within the TNTN area.
Although a small portion of the plantation is not within the conservation red zone, it has been in existence since 1990. However, over time, problems have arisen due to its presence in a protected conservation area.
The Chairman of the Lubuk Indah Cooperative, H Lahuddin, asserts that the plantation is not the result of forest encroachment but rather the conversion of former farmland into a palm oil plantation with the support of the local government in 1999. However, issues arose when TNTN replaced Inhutani in 2004 and designated a red zone in the area.
Currently, the Lubuk Indah Cooperative is working to facilitate the release of the area and find solutions to the problem. However, so far, it has only faced rejections without clear reasons from the government.
The head of the TNTN office, Heru Sutmantoro, acknowledges the existence of palm oil plantations in the TNTN area, especially around the village of Pontian Mekar. Nevertheless, it is currently conducting data collection for resolution under the Forestry Law implemented by the government.
The impact of encroachment on the TNTN area is not only on flora and fauna but also on the population of Sumatran elephants, which are increasingly squeezed. In 2023, the TNTN authorities destroyed 600 hectares of palm oil plantations in the area as part of law enforcement measures against encroachment on the conservation area.
Despite the government granting amnesty to palm oil companies that illegally encroach on forests, law enforcement efforts continue to protect conservation areas and the habitat of Sumatran elephants.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Kebun Meluas, Gajah Sumatera Terjepit Sawit
PEKANBARU — Selain kebun dalam kawasan hutan, di Riau juga tidak sedikit kebun kelapa sawit yang berada dalam kawasan konservasi. Seperti di wilayah Tanam Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang menjadi rumah bagi seratusan gajah sumatera.
Misalnya saja kebun kelapa sawit milik koperasi Lubuk Indah yang ada di desa Lubuk Batu Tinggal, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). Kebun yang dikelola oleh masyarakat ini berada dalam kawasan TNTN.
Menurut Kepala Desa Lubuk Batu Tinggal, Suherdi kebun kelapa sawit milik koperasi itu luasnya lebih dari 3.000 hektare. Memang sebagian kecil tidak berada dalam zona merah itu.
"Kebun itu kalau saya tidak salah sudah dibangun sejak tahun 1990. Dimana saat itu marak juga investor yang datang untuk menawarkan keuntungan kepada masyarakat," katanya.
Suher begitu sapaan akrab bapak dua anak itu, mengaku tidak terlalu mengetahui betul terkait operasional koperasi Lubuk Indah itu. Meski sebagian besar anggota adalah warganya, letak kebun koperasi itu berada cukup jauh dari desa yang dia pimpin.
"Sekarang wilayah kita ini terbagi atas 6 desa yang merupakan desa transmigrasi zaman pak Suharto dulu. Nah untuk menuju lokasi kebun koperasi itu kita melewati sejumlah desa yang salah satunya adalah Desa Pontian Mekar. Tapi kalau lokasi kebunnya masuk Desa Lubuk Batu Tinggal," paparnya.
Sementara berdasarkan peta Green Peace di wilayah tersebut turut juga beroperasi perusahaan Asian Agri Group yakni PT Inti Indosawit Subur (IIS). Namun hal ini dibantah oleh Suherdi.
Suher mengatakan tidak ada kebun milik PT ISS di sekitaran koperasi Lubuk Indah itu. Memang ada kebun dari Asian Agri itu namun posisinya berada dalam desa yang tidak masuk dalam kawasan TNTN.
Kendati begitu, ia mengakui bahwa dulu memang PT IIS menjadi bapak angkat kebun masyarakat KKPA milik Koperasi Tani Bahagia. Kebun koperasi ini berbatasan langsung dengan Desa Pontian Mekar dan TNTN.
"Kalau kebun KKPA itu tidak masuk TNTN. Luasannya mencapai 1.660 dengan jumlah anggota 830 kelapa keluarga (KK)," tuturnya.
Dulu operasional KKPA ini didukung oleh PT IIS. Namun setelah kredit yang diajukan masyakarat lunas, maka kebun kembali diserahkan kepada masyarakat dan dikelola oleh Koperasi Tani Bahagia itu.
"Disekitaran kawasan TNTN itu ada 4 koperasi yang beroperasi. Memang semuanya adalah masyarakat bukan perusahaan," imbuhnya.
Sementara khusus kebun milik Koperasi Lubuk Indah saat ini sebagian sudah masuk usia peremajaan. Bahkan kata dia sebagian anggota koperasi itu meremajakan sendiri kebunnya lantaran tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah lantaran masuk zona merah.
"Sekarang mereka informasinya sedang mengurus pelepasan kawasan termasuk juga pengajuan lewat UUCK itu. Kita belum tau bagaimana kabarnya," ujarnya.
Meski masuk dalam kawasan TNTN, Ketua Koperasi Lubuk Indah, H Lahuddin tidak menerima jika dirinya dan masyarakat lain dituduh merambah kawasan hutan. Sebab lahan tersebut dahulunya adalah bekas peladangan yang dikelola oleh Inhutani. Kemudian masyarakat diajak kerjasama bahkan dianjurkan untuk berkebun kelapa sawit. Kala itu juga didukung oleh Dinas Perkebunan dan instansi pemerintahan lainnya.
"Kemudian di tahun 1999 sekitar 1.400 hektar lahan disertifikatkan menjadi hak milik," ujarnya.
Cerita Haji Udin begitu sapaan akrabnya, total luas kebun Koperasi Lubuk Indah adalah 4.400 hektar. Dimana 1.400 hektar masuk dalam kawasan TNTN. Namun 3.000 hektar lainnya diklaim tidak masuk dalam kawasan koridor binatang bertubuh tambun nan dilindungi itu.
Setelah kebun 1.400 hektar itu telah dilengkapi sertifikat kepemilikan, Inhutani justru diganti oleh TNTN pada tahun 2004. Sejak saat itulah kemudian muncul berbagai masalah dalam koperasi Lubuk Indah tersebut. Terlebih kebun yang menjadi tempat bergantung masyarakat justru di klaim menjadi zona merah.
"Tahun 2013 kita sempat diajak kembali oleh TNTN untuk bekerjasama dengan menanam buah buahan di kebun kami itu. Namun kami merasa ditinggalkan saat anggaran yang kami setujui dicairkan pemerintah namun justru diserahkan kepada kontraktor bukan kepada petani. Memang besarannya kami tidak tahu, tapi kalau tidak salah itu untuk biaya budidaya selama tiga tahun. Bahkan itu terjadi sampai dua kali pencairan," paparnya.
Sejak ditetapkan menjadi zona merah itu, lanjut Haji Udin pihak terus mencari penyelesaian masalah. Dengan kembali mengajukan pelepasan kawasan hutan. Namun hingga kini, sekitar 2.150 anggota hanya merasakan penolakan tanpa ada alasan dari pihak pemerintah.bsementata sistem koperasi juga tak berjalan layaknya koperasi lai . Malah para anggota juga tidak lagi merawat kebunnya masing-masing.
"Kami masyarakat itu tidak muluk-muluk, kami mau pemerintah itu hadir dan turun langsung di lokasi kebun untuk melihat kondisi kita. Kami juga siap jika kebun kami tersebut diambil dan dihutankan kembali untuk TNTN. Namun kita minta pemerintah menepati perjanjian yang sudah kita sepakati bersama sebelumnya, yakni untuk penggantian kebun itu. Kita mau dan siap kebun itu dipindahkan kemana saja," ujarnya.
Kepala Balai TNTN, Heru Sutmantoro tidak menampik adanya kebun kelapa sawit yang ada di TNTN, terutama di sekitaran desa Pontian Mekar. Saat ini bahkan pihaknya tengah melakukan pendataan untuk penyelesaian dengan UUCK yang sudah dilahirkan oleh pemerintah beberapa waktu lalu.
"Jadi memang tugas kita selain menjaga adalah melakukan pendataan saja. Kemudian dikoordinasikan dengan pemerintah pusat," ujarnya.
Cerita mengenai Koperasi Lubuk Indah memang tak asing ditelinga Heru, namun memang ia belum memiliki data pasti siapa saja yang tergabung dalam koperasi tersebut.
"Kalau sawit memang ada, kan 41.000 hektar kawasan TNTN sudah menjadi kebun sawit. Memang ada kelompok-kelompok masyarakat" paparnya.
Sementara terkait kebun PT IIS yang berada dalam kawasan konservasi itu Heru membantahnya. Ia mengatakan kebun PT IIS berada di luar TNTN.
"Dalam kawasan ini kebanyakan adalah masyarakat bukan perusahaan. Perusahaan tidak teridentifikasi dalam data kita. Apakah masyarakat menjadi tameng perusahaan kita juga tau. Tapi jika ada bukti otentik, jelas perusahaan harus keluar dari wilayah TNTN dan dikembalikan kepada negara," tegasnya.
Lanjutnya, toleransi UUCK adalah bagi masyakarat yang memiliki kebun maksimal 5 hektar, diatas 5 hektar tentu tidak dibenarkan. "Makanya saat ini kami masih melakukan penelusuran dan pendalaman adanya indikasi kepemilikan kebun diatas 5 hektar yang di pecah-pecah," bebernya.
Heru menambahkan perambahan kawasan TNTN itu akan berdampak langsung pada flora dan fauna yang ada di wilayah itu. TNTN merupakan koridor gajah Sumatera yang saat ini di dalam TNTN hanya tersisa 120 ekor saja. Bahkan saat ini satwa tersebut semakin terjepit dengan terus bermunculannya kebun kelapa sawit di habitat mereka.
Dalam kurun waktu 20 tahun pembukaan lahan ini saja, kondisi TNTN sudah sangat memprihatinkan. Padahal di wilayah Inhu kawasan TNTN hanya 1% saja dari luas total 81.000.
"Yang jelas hingga kini kita masih buru para perambah dan penjual lahan TNTN. Sebab pasti ada aktor yang memiliki kuasa dan memfasilitasi perambahan TNTN ini. Memang modusnya lahan itu dijual," ujarnya.
Sebelumnya pada medio 15-19 November 2023 kemarin, pihaknya telah memusnahkan 600 hektare kebun kelapa sawit yang tak jauh dari desa Pontian Mekar tersebut dan berada di kawasan TNTN. Yakni di desa Air Hitam Ukui di wilayah yang dikenal dengan nama Tenda Biru bagi masyarakat sekitar. Bahkan sejumlah aktor intelektual juga turut ditahan.
"Kita telah robohkan 36 pondok perambah, memutus dua akses jembatan dan memusnahkan kebun berusia satu tahun. Modusnya kan jual beli, jadi ada sebanyak 80 orang yang beli lahan seluas 600 hektar itu," tandasnya.***(arl)
Pemerintah memberikan pengampunan kepada perusahaan sawit yang sudah merambah hutan secara ilegal. Tempo bersama Riauterkini.com, IniBorneo.com, dan BanjarHits.co yang merupakan mitra Teras.id melakukan liputan bersama di empat provinsi untuk mengungkap kebijakan tersebut. Liputan ini mendapat bantuan/dukungan Pulitzer Center Rainforest Journalism Fund.