An English summary of this report appears below. It is followed by the original report, published in bahasa Indonesia in Jurnalis Travel.
Sinakak Village in South Pagai Island, Mentawai Islands, has a rich sea and forest. Resident fishermen in the small village located on an island facing the Indian Ocean west of Sumatra Island, Indonesia, benefit from a variety of high-priced marine catches.
In the 1980s, fishermen in Sinakak benefited from abundant sea cucumbers. Because of the high price of sea cucumbers at that time, they could build good houses. Then the lobster catch was also once a favorite. Finally, they benefited from octopus, which has a high price.
But years of over-exploitation caused the wealth to run out quickly. The last era of octopus glory also began to decline, even in certain months, such as June, Sinakak fishermen could hardly catch octopus. Memories of the glory of marine products, as well as forest products such as agarwood, provide valuable lessons to residents.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund more than 170 reporting projects every year on critical global and local issues. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
PADA bulan Juni yang cerah di perkampungan nelayan di Dusun Sinakak, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai adalah masa ketika nelayan tidak memilih melaut, melainkan beraktivitas di darat.
Di Pulau Simatapi, tempat pemukiman mereka, para nelayan itu kembali ke sawah menanam padi. Atau merawat kebun pinang dan kebun lain yang mereka miliki seperti cengkeh, keladi, dan pisang. Ada juga yang membersihkan semak di sekitar pohon-pohon gaharu.
Mereka hanya pergi ke laut sebentar pada pagi hari untuk memancing ikan secukupnya sebagai lauk santapan keluarga. Ada sedikit harapan menemukan gurita, teripang, atau lobster agar bisa dijual. Tapi musim gurita dan lobster baru akan tiba pada Oktober.
Pulau Simatapi selama puluhan tahun menjadi saksi pasang surut kehidupan nelayan Dusun Sinakak. Pada 1980-an adalah masa kejayaan nelayan Sinakak berkat teripang yang melimpah. Saat itu harga teripang sedang tinggi.
Eliakim Samaloisa masih mengingat dengan jelas masa kejayaan itu. Pria 60 tahun itu mengatakan saat itu dengan penjualan teripang ia dan warga Sinakak lainnya bisa membangun rumah permanen. Bahkan ada yang kamar rumahnya lima dan enam.
Tidak mudah membangun rumah permanen di desa paling selatan di deretan pulau-pulau di Kepulauan Mentawai itu. Rata-rata rumah penduduk terbuat dari kayu, material yang paling mudah dan murah. Untuk membangun rumah permanen dibutuhkan semen, keramik, kaca, gagang pintu, dan material lainnya. Itu semua didatangkan dari Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat. Semua material dikirimkan dari Padang ke Sikakap, ibu kecamatan dengan jarak hampir 200 km dengan kapal. Jarak Sikakap ke Sinakak 3 jam dengan perahu mesin tempel. Akibatnya harga material bangunan sangat mahal.
“Waktu itu kami bisa membangun rumah permanen di Sinakak, padahal untuk ukuran di Mentawai itu sangat mahal,” katanya.
Warga Sinakak saat itu mencari teripang hingga ratusan kilogram per hari. Sebelum dijual teripang tangkapan direbus dulu, dibersihkan kulitnya, digarami, dan disalai di atas api hingga kering.
“Sebelumnya kami tidak tahu teripang itu bisa dijual, teripang itu tidak pernah juga kami ambil untuk dimakan, tapi saat kedatangan nelayan dari Madura dengan kapal layar ke Sinakak pada tahun 1978, saat itulah kami tahu teripang bisa dijual,” kata Eliakim.
Saat itu banyak nelayan dari Madura datang ke Sinakak dengan perahu layar yang besar. Mereka juga tinggal di atas perahu.
“Perahunya lebar, di tengahnya dibuat pondok seperti rumah dan mereka juga merebus teripang di atas perahu, mereka baru turun ke pulau untuk mencari kayu bakar, air minum dan membeli kelapa kami,” katanya.
Karena bersahabat dengan nelayan Madura, saat naik ke perahu nelayan Madura, warga Sinakak bisa melihat cara mengolah teripang dan juga cara mencarinya dengan menyelam. Setelah itu mereka mulai ikut mencari teripang dan mengolahnya seperti yang dilakukan nelayan Madura.
Saat warga Sinakak mula bisa mengolah teripang, pedagang teripang pun datang dengan kapal untuk membeli langsung. Bahkan kemudian penampung teripang juga ada di Sikakap, pusat Kecamatan Pagai Utara-Selatan waktu itu.
“Harga teripang saat itu hanya Rp1.000 per kilogram, sangat murah dibanding sekarang yang sudah mencapai Rp800 ribu hingga Rp1,3 juta per kilogram,” kata Eliakim.
Selain berkah dari teripang di laut, Sinakak juga mendapat berkah dari hutan di darat. Saat itu Indonesia juga ‘demam’ gaharu yang pohonnya banyak tumbuh alami di hutan Pulau Simatapi. Orang-orang dari luar datang ke Dusun Sinakak untuk mencari gaharu.
“Pohon gaharu namanya di sini Siboitek, batunya namanya gaharu, ada di dalam daging pohon itu juga hingga ke akar, batu itulah yang diambil untuk dijual, harganya sangat mahal,” kata Rasyid Samopo, mantan pejabat Kepala Desa Sinakak.
Saat itu, kata Rasyid, banyak pohon gaharu yang ditebang, walau tidak semua ada batu gaharunya. Pohonnya dikerok dan begitu ada bayangan batu gaharu berwarna hitam di dalamnya baru ditebang dan batunya diambil dengan hati-hati.
“Gaharu itu meledak di sini, satu ons saja dijual jutaan uangnya, kalau pandai masyarakat mengelola uang lebih bagus lagi, tetapi uangnya habis untuk roti, pakaian. Ada yang berubah ada yang tidak, padahal pendapatn mereka rata-rata sama, dari gaharu dan teripang,” kata Rasyid.
Masa kejayaan gaharu selesai saat pohon gaharu di hutan habis ditebangi. “Tapi kini masyarakat sudah mulai menanam pohon gaharu di ladang mereka, cuma belum ada hasilnya,” ujarnya.
Masa kejayaan teripang juga berakhir pada awal 1990-an, karena teripang ditangkap tanpa henti. B ahkan banyak yang menyelam mencari teripang memakai kompresor. Nelayan yang menangkap teripang juga banyak yang datang dari luar, seperti Padang dan Sibolga (Sumatera Utara). Akhirnya pada akhir 1990 teripang habis.
Setelah teripang habis mulai muncul lobster sebagai andalan baru dari laut, sebab harga ‘udang besar’ itu juga tinggi.
“Lobster juga ditangkap terlalu banyak, bahkan menggunakan potas, lubang persembunyiannya disemprot pakai potas sehingga semua lobster yang ada di dalamnya keluar dan ditangkap, akhirnya lobster juga berkurang,” kata Eliakim.
Setelah era lobster, muncul gurita pada awal 2000. Ini tangkapan yang akhirnya menjadi sumber ekonomi utama warga Desa Sinakak.
“Awalnya dulu gurita hanya ditangkap satu atau dua ekor untuk dimakan sehari-hari, sama seperti ikan, tidak dijual,” kata Eliakim. Sejak kedatangan penampung gurita, semua nelayan di Sinakak fokus mencari gurita
“Saat itu gurita masih banyak, cukup di depan Pulau Simatapi, tak jauh dari pantai saja mencari guritanya, masih bisa dapat 20 kilogram setengah hari,” katanya.
Pada masa itu kapal-kapal ikan datang dari Padang langsung buang jangkar di Teluk Tanopo di depan Pulau Simatapi untuk menunggu gurita dari nelayan Sinakak. Di kapal penampung itu, gurita akan dimasukkan ke dalam kotak fiber yang sudah berisi es balok yang bisa menjamin kesegaran gurita selama seminggu.
“Dua hari saja kami menangkap gurita di sini penuh kapal itu, sekali bawa gurita tiga ton, satu orang dulu bisa menangkap gurita sampai 30 kilogram,” kata Eliakim.
Saat itu, menurutnya gurita belum mengenal musim, selalu ada saat dicari. Kini gurita sudah jauh berkurang dan hanya ada saat musim tertentu.
“Dulu seekor gurita beratnya bisa sampai lima kilogram, sekarang paling berat 1,2 kilogram, kalau ada yang dapat gurita lima kilogram saat ini boleh cukil mata saya,” kata Eliakim menantang.
Karena itu ia mendukung program Pemerintah Desa Sinakak membuat waktu jeda tangkap gurita. Menurutnya hal itu sangat baik,agar biota laut, termasuk lobster dan teripang, bisa berkembang biak.
“Ditunggu dulu guritanya, teripang, dan lobsternya besar baru ditangkap lagi, kalau perlu waktu jeda tangkapnya lebih lama,“ ujarnya.
Pulau Simatapi tempat Dusun Sinakak berada dulu pernah menjadi pusat Desa Sinakak. Desa Sinakak memiliki delapan dusun yang wilayahnya di pesisir timur Pagai Selatan. Des aini memiliki 20 pulau kecil, termasuk Pulau Simatapi. Tapi sejak Pagai Selatan diterjang tsunami pada 25 Oktober 2010, pusat desa dipindahkan ke Bungo Rayo di pulau besar Pagai Selatan.
Meski tidak terkena bencana tsunami 2010, peristiwa itu membuat Dusun Sinakak meredup. Sebanyak 33 keluarga atau 120 warganya pindah ke pemukiman baru yang diberi nama Dusun Korit Buah di pulau besar Pagai Selatan. Pemukiman itu berjarak sekitar 10 menit perjalanan dengan boat dari Pulau Simatapi.
Pada 2011 hanya empat keluarga yang tidak ikut pindah, salah satunya keluarga Jerianus Madogaho, nelayan dan pengepul gurita di Dusun Sinakak.
“Saat itu saya memilih bertahan, karena mata pencarian di laut di depan ini, ladang di sini, sawah di sini, rumah baru saya bangun, sumber air juga cukup,” kata Jertianus.
Ia mengatakan saat ditinggal warga lainnya, Pulau Simatapi sangat sepi.
“Saya sampai menghidupkan tape recorder keras-keras selama 24 jam seharian untuk mengusir sepi,“ katanya mengenang.
Anak dan istrinya tidak tahan lagi dan minta pindah karena tidak punya tetangga. Awalnya Jertianus menjanjikan akan membuatkan rumah untuk mereka di Korit Buah dan dia tetap tinggal di Pulau Simatapi. Tapi tak lama orang-orang yang pindah ke Korit Buah kembali lagi ke Dusun Sinakak ,karena di tempat yang baru mereka kekurangan sumber air minum. Selain itu sawah dan ladang mereka juga ada di Pulau Simatapi.
“Hidup kami juga sangat tergantung dari hasil laut Sinakak, semuanya kami dapat dari sana,” ujarnya.