
An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in iklimku.org, follows.
Nature and its inhabitants are one and the same. This is a principle that the community continues to believe in, and a philosophy that becomes a way of life and belief.
In South Sulawesi, Indonesia, we focus on three local beliefs: Aluk Todolo in North Toraja and Tana Toraja, Pammase-mase in the Kajang community, and the beliefs of the Cerekang community.
This philosophy is generally recognized by all local communities in the three areas, albeit with different terminology. Local beliefs place the relationship between humans and the environment, which must protect each other, like an interconnected chain.
For these communities, the forest is the center of spirit. This is because the mythologies and beliefs refer to forest as the origin of life. A healthy forest provides abundant water, air, and food.
"But most importantly, the forest is part of our identity," he continued.

As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Memuliakan Kepercayaan Lokal, Meluhurkan Hutan
Cerekang adalah nama sebuah kampung di Desa Manurung, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kampung ini dibelah oleh jalan utama yang menghubungkannya dengan Malili, pusat kabupaten. Sepintas tak ada yang spesial saat melewatinya. Ia tampak serupa dengan kampung-kampung lain di kabupaten tersebut yang memiliki masjid dan sekolah.
Akan tetapi, di kampung ini, ada sebuah bukit yang tepat berada di sisi jalan, namanya Bukit Pensimaoni. Dekat dengan bukit itu, tepatnya di ujung jembatan besi yang membelah sungai, ada tikungan tajam. Orang-orang tertentu yang mengenal kampung ini akan membunyikan klakson saat melintasinya. Mereka percaya, tempat ini adalah hutan keramat yang dijaga makhluk tak kasat mata. Selain itu, terdapat pula sehamparan rawa di hadapan bukit tersebut. Orang-orang Cerekang menyebutnya Padang Anungnge, sebuah tempat lapang yang dipercaya sebagai titik pertama seorang perempuan muncul dari bawah air.

Bukit, sungai, dan padang itu adalah satu kesatuan. Bukit ditandai sebagai tempat pertama kali Batara Guru menapakkan kakinya di bumi. Sementara padang itu adalah tempat pasangannya, We Nyili Timoq, muncul. Kelak, pasangan inilah yang melahirkan generasi-generasi penerus, salah satunya Sariwerigading, seperti yang tertuang dalam Kitab I La Galigo, kitab yang panjangnya mencapai 6.000 halaman, melampaui epos Mahabharata
Tahun 1998, sebuah penelitian kolaboratif para arkeolog dari Australia dan Indonesia bernama The Origin of Complex Society in South Sulawesi (OXIS) menyambangi Cerekang. Mereka membincangkan tempat kecil dengan penutur Bugis yang tetap bertahan hingga sekarang di tengah penutur bahasa Mori. Iwan Sumantri, arkeolog Universitas Hasanuddin yang terlibat dalam OXIS, mengatakan bahwa Cerekang seperti tempat tersembunyi yang menjaga kosmologi penciptaan alam semesta. “Meski hutannya tak cukup tua karena mulai berkembang sekitar abad ke-12, tapi tempat ini memberikan penjelasan mengenai sebuah komunitas yang terus mereproduksi pengetahuan untuk menciptakan identitas,” ujarnya.
Orang-orang Cerekang percaya dan meyakini diri mereka merupakan keturunan Batara Guru yang mewarisi etika dalam mengatur alam. Mereka menanam tanpa merusak alam, menangkap ikan tanpa menggunakan racun dan listrik, dan tidak mengotori sungai. Adnan, seorang anak muda Cerekang, menyebutkan bahwa leluhur mereka telah memberikan pesan yang begitu luhur untuk merawat alam dan menghargai sesama mahluk Tuhan. “Saya bangga. Kami hanya berusaha menjaga pesan itu,” ungkap ketua gerakan pemuda Wija To Cerekang ini.

Rumah Adnan berdekatan dengan Sungai Cerekang dan Bukit Pensimaoni. Berkali-kali ketika kami bercerita di teras rumah panggung orang tuanya, dia tak berani mengangkat tangan dan menegakkan telunjuknya ketika memastikan posisi bukit. Jika dalam keadaan terpaksa, maka semua jarinya akan ditekuk dan dibengkokkan. Pada masa lalu, bagi orang-orang Cerekang, memandang Bukit Pensimaoni dengan tatapan tegas adalah perihal yang dianggap kurang sopan.
Bukit Pensimaoni luasnya mencapai 375,7 hektar dengan kanopi hutan yang rapat. Laporan Perkumpulan Wallacea, organisasi nonpemerintah yang juga menjadi pendamping masyarakat, menuliskan luas hutan suci kawasan ini adalah 544,11 hektar yang tersebar di sepuluh titik. Termasuk di dalemnya wilayah Lengkong, daerah pesisir yang masih ditumbuhi vegetasi bakau, seluas 142 hektar.
Bagi Adnan, hutan itu senantiasa menjaga kampungnya tetap sejuk. “Kalau mau dikelola, itu tidak cukup. (Sementara itu) kalau tetap dijaga, generasi Cerekang akan tetap memperoleh oksigen,” katanya.

“Tapi yang utama, bukit itu juga adalah bagian dari identitas kami,” ia melanjutkan.
Sementara itu, sungainya yang mengalir tenang terlihat keruh pada pekan pertama September 2024. Hulunya yang berada di wilayah Parahumpanai meliuk sepanjang 37,32 kilometer, dan wilayah yang dijaga masyarakat hanya sepanjang 15 kilometer. Batang sungai itu melewati beberapa kampung dan perkebunan warga yang berada di bantaran sungai. Selain itu, ada pula mata air yang mengalirkan aliran kecil dari dalam perut Bukit Pensimaoni. Aliran dari sumber ini jernih. “Kami tak bisa menjaga sampai ke wilayah hulu. Kami hanya menjaga dibatas Cerekang,” kata Adnan. “Ketika di bagian atas (hulu) rusak, kami tidak bisa apa-apa,” sambungnya.
Sebelum tahun 1930, pemukiman Cerekang jauh berada di hilir. Rumah-rumah penduduknya menghadap sungai sebagai halaman utamanya. Sungai ini menjadi penghubung kawasan hutan dan laut. Saat pembangunan jalan mulai dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda, penduduk yang bermukim dipindahkan ke sisi jalan agar mudah dikontrol, termasuk penduduk Cerekang. Sejak saat itu, rumah-rumah penduduk menghadap ke jalan utama yang menghubungkannya dengan Malili. Sebagian besar rumah-rumah penduduk adalah rumah panggung yang pasak-pasak utamanya saling berhubungan tanpa menggunakan paku besi.

Saat kami mengunjungi sisi bukit yang bersisian langsung dengan jalan utama, ada banyak sampah kertas makanan, plastik kresek, dan botol air mineral. Adnan mengeluh melihatnya. “Ini baru selesai masa kampanye (pemilihan bupati Luwu Timur), banyak orang singgah untuk istirahat. Sampahnya dibuang begitu saja,” ujarnya. Adnan menunjukkan plang pengumuman yang mereka buat untuk mengingatkan para pelintas agar menjaga sampahnya. “Tapi mereka banyak yang tidak bisa membaca. Ini buktinya,” ia menggerutu.
Ketika fotografer Iqbal Lubis meminta izin untuk menerbangkan pesawat nirawak, Adnan memintanya untuk berhati-hati agar pesawat yang membawa kamera itu tak melintasi hutan. “Saya tidak bisa tanggung. Kalau jatuh di hutan, kita tidak bisa lagi ambil,” ia memperingatkan.
Hutan suci itu tak pernah dimasuki oleh penduduk Cerekang. Adnan sendiri tak pernah tahu apa dan bagaimana isi hutan itu. Hanya segelintir pemuka adat yang pernah memasukinya, juga dengan ritual penting yang tak memiliki jadwal menetap.

Cara masyarakat memperlakukan hutan ini justru selaras dengan upaya menjaganya agar tak terjamah tangan-tangan yang tak bertanggung jawab.
Kesucian bukit itu pula yang menjadikan orang-orang Cerekang begitu gusar ketika sebuah perusahaan penambang nikel PT Prima Utama Lestari, mengklaim sebagian hutan itu telah mendapat Izin Usaha Pertambangan. “Tiba-tiba mereka punya sekitar 20 hektar di dalam kawasan. Kami sendiri yang menjaganya tak pernah berniat untuk mengelola. Mereka datang malah mau membongkarnya.”
Para pemuda ingat, tahun 2019, ada seorang warga Cerekang yang bekerja sama dengan orang luar kampung. Mereka masuk ke hutan secara diam-diam untuk menebang kayu dengan gergaji mesin yang menggunakan peredam. Masyarakat Cerekang sangat marah ketika mendapati aktivitas tersebut. Akhirnya, menggunakan hukum adat di Cerekang, pelaku diusir dari kampung. Mencoba peruntungan dengan hukum negara, masyarakat Cerekang melaporkannya ke polisi. Ironisnya, polisi membutuhkan barang bukti berupa sisa penebangan kayu dari pohon-pohon suci itu. Masyarakat Cerekang tak setuju. Akhirnya pelaku pun urung ditangkap.
Berkaca dari pengalaman tersebut dan ancaman penambangan nikel yang ada di depan mata, dengan pemuliaan atas kepercayaan turun temurun untuk menjaga alam, beberapa pemuda Cerekang mengaku siap mengorbankan nyawanya jika hutan mereka hendak dirusak.



Aluk Todolo
Bergerak ke barat laut Cerekang, ada satu bukit bernama Buntu Burake yang layak dikagumi di Toraja. Bukit karst itu menjulang di dekat Kota Makale, Kabupaten Tana Toraja. Toponim bukit itu merujuk pada gelar imam perempuan kepercayaan Aluk Todolo. Tapi kini, di atas bukit itu telah berdiri patung Yesus yang menghadap ke arah kota, seolah sedang memberkatinya. Alhasil, nama asli bukit itu perlahan dilupakan. Para wisatawan kini lebih mengenalnya sebagai Bukit Yesus.
Bukit karst lain yang tak jauh dari Buntu Burake adalah Buttu Kandora yang terletak di Kampung Marinding. Pada masa lalu, masyarakat setempat mempercayainya sebagai tempat awal mula berdirinya tongkonan, rumah utama masyarakat Toraja.



Sementara itu, di Kampung Sangalla, terdapat sebuah situs penting Aluk Todolo berupa mata air yang keluar dari celah bukit karst, Sa’pak Bayobayo. Di hadapannya, berdiri sebuah pohon beringin tua. “Itu salah satu tempat paling penting agama Aluk. Tempat memuja dan berdoa,” ujar Marthen Ruruk (61). Saking keramatnya, binatang apa saja yang melintas di atas permukaan dan memiliki bayangan ke aliran air itu, akan terhisap dengan cepat. “Tapi itu untuk binatang. Manusia tidak,” katanya.
Ketika mengunjungi Sa’pak Bayobayo, saya tercengang karena situs itu telah berubah menjadi wisata religi umat Katolik. Di dekat aliran keramat itu, berdiri miniatur patung Yesus kecil bersama Maria dan Yusuf yang mengapitnya. Ketiganya mengenakan pakaian adat Toraja. Tak ada lagi penanda mengenai kepercayaan Aluk Todolo di tempat itu. Aliran yang keluar dari mata air juga sudah keruh. Dugaan para pengunjung, hal ini dikarenakan adanya lahan pertanian dan kebun warga di belakang bukit itu.
Namun, Marthen yang lahir dan besar di Sangalla mengatakan dulu bukit itu hampir tak terjamah. Orang-orang enggan menapaki punggungnya karena menjadi wilayah yang begitu disakralkan. Ada banyak rimbunan bambu dan beringin-beringin besar. Airnya tak pernah kering apalagi keruh.

“Adaptasi ke agama baru membuat beberapa wilayah yang seharusnya dijaga dan tak terjamah akhirnya terbuka. Pantangan-pantangan itu mulai banyak ditinggalkan. Kalau diingat-ingat, saya juga sedih,” akunya.
Di Toraja, lembah-lembah yang diapit oleh tebing batu selalu menjadi area pertanian basah. Produksi padi terus digenjot karena penduduk makin bertambah. Varian padi baru yang diperkenalkan pemerintah dengan usia panen sesingkat tiga bulan menjadikan pengelolaan lahan semakin cepat. Padi-padi lokal yang usia panenya mencapai enam bulan pun akhirnya ditinggalkan. Sistem irigasi yang makin modern juga menjadikan pengetahuan lokal ikut menghilang.
“Saya ingat, dulu, sebelum masyarakat bertani, pemangku adat akan duduk bersama berdoa. Lalu mereka melakukan kegiatan To Mengkaro Kalo untuk membersihkan irigasi,” kata Marthen. Ia melanjutkan, jika hama seperti serangga dan ulat muncul, orang-orang akan mengambil beberapa tanaman dan ditancapkan di sekitar hama. Beberapa hari kemudian, hama akan hilang. “Sekarang, kalau hama muncul, tinggal membeli racun. Praktis, tapi tidak sehat.”
Padahal, kepercayaan Aluk Todolo meyakini semua yang ada di bumi diciptakan oleh Puang Matoa, sosok tunggal pencipta alam semesta. Puang Matoa, saat melakukan proses penciptaan, menjadikan tanaman dan binatang sebagai teman dari manusia. Semua unsur memiliki leluhur yang oleh orang-orang Toraja disebut sebagai nenek. Ada delapan unsur yang mula-mula diciptakan. Manusia memiliki nenek moyang bernama Datu Laukku. Besi, bernenek moyangkan Riako. Kapas, Ungku Bulaan. Padi, Pong Malameme. Angin, Pong Pirik-pirik. Hujan, Lando Lette. Kerbau, Menturino. Terakhir, ayam memiliki nenek moyang bernama Luwa Kollon.

Maka tak mengherankan, setiap manusia yang akan menggunakan peralatan dari alam perlu melakukan ritual untuk memohon izin. Memilih pohon untuk ditebang harus mendapatkan persetujuan dari makhluk yang menjaganya.
Setelah manusia pertama itu tercipta, selanjutnya lahirlah Bura Langi dan menikah dengan Bura Tana. Pada tahap kelahiran inilah, Puang Matoa mengirimnya ke bumi. Lalu keturunan selanjutnya adalah Tandi Lino yang membangun pertama kali rumah tongkonan di Buttu Kandora. Kehidupan masa itu sudah baik. Sebab, ayam, kerbau, dan padi sudah sejak awal dibawa oleh Bura Langi. “Jadi, kebutuhan sudah terpenuhi. Hidup makmur. Ada makanan dari padi, ayam, dan kerbau, serta besi untuk peralatan,” kata Palimmi (76). Aturan awal inilah yang dikenal dengan nama Aluk Sanda Pitunna yang berisi 7.777 aturan untuk manusia. Aturan ini mencakup urusan menanam padi hingga perlakuan pada setiap yang diciptakan Puang Matoa.
Tandi Lino yang membangun rumah tongkonan dipercaya pula telah menempatkan ayam dan matahari di bagian paling tinggi di depan rumah tongkonan. Ada dua ukiran ayam di rumah tongkonan. Ayam sella menghadap barat dan ayam koro menghadap timur. Dua penempatan itu juga menjadi simbol keseimbangan antara siang dan malam. Selain itu, ayam sella diperuntukkan untuk ritual yang berhubungan dengan pemujaan langit dan ayam koro untuk kehidupan.
Ayam ini juga menjadi penanda waktu; kokok ayam pertama dimulai antara pukul 11-12 malam, kokok kedua pada pukul 1 dini hari, ketiga pada pukul 3, dan keempat pada pukul 5 hingga pagi hari. “Jadi kalau ayam bunyi keempat kalinya dan terus menerus, itu sudah waktunya kami bangun pagi. Sudah waktunya bersiap dan bekerja,” kata Palimmi. “Sekarang sudah modern. Orang pakai jam dan itu hape ada alarm. Tapi makin banyak itu anak-anak yang tidak bisa bangun,” sambungnya sambil tersenyum.

Lauernsiun Kevin (21) yang memutuskan berpindah keyakinan dari Katolik menjadi Aluk – meski dalam KTP-nya tertulis Hindu – berujar, “Sekarang orang-orang Toraja mulai banyak lupa agama leluhurnya, akar orang Toraja.” Bagi Kevin, Aluk menjadi laku hidup yang tidak memisahkan manusia dan alam. Aluk. dalam filosofinya, tak pernah memaksakan sebuah ritual. “Pada mereka yang mampu, diperuntukan ritual. Pada mereka yang tidak mampu, tidak diwajibkan,” jelasnya.
Kevin melanjutkan, bahkan, ketika orang Toraja akan dikuburkan (dalam upacara kematian Rambu Solo) dan tak memiliki harta bahkan seekor babi pun, mereka cukup membunyikan bambu yang digunakan makan babi di depan rumah. Itu telah dianggap memenuhi syarat. “Sekarang, banyak orang memaksakan upacara. Itu yang salah,” keluhnya.

Kajang
“Perda masyarakat adat itu untuk siapa? Apakah untuk orang Kajang atau untuk kepentingan kapital?” tanya Dr. Erni Erawati, arkeolog Universitas Hasanuddin. Erni adalah salah seorang yang menekuni Kajang sejak tahun 1990. Bagi Erni, identitas Kajang yang bersumber dari Pasang, merupakan sebuah kepercayaan yang juga disebut kepercayaan Patuntung. “Tahun 1990-an awal, orang-orang masih menyebut pemeluk Patuntung. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Mungkin ada pengaruh dari pergolakan DI/TII masa itu, dan juga ketentuan negara yang hanya mengakui lima agama,” ujarnya.
Di Sulawesi Selatan pada tahun 1950-1965, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kahar Muzakkar melakukan perang gerilya. Salah satu misinya adalah mendirikan Negara Islam Indonesia. Pasukan Kahar bahkan melakukan operasi penyadaran akan kemurnian Islam. Mereka menyasar kelompok-kelompok kepercayaan lokal termasuk Cerekang dan Kajang.
Di Kajang, pemimpin masyarakat yang disebut sebagai Ammatoa bahkan ditawan, meski kemudian dilepaskan tanpa disakiti. Namun, kampung tetap diserbu dan dibakar. “Saya masih kecil waktu itu. Saya dibawa orang tua mengungsi ke kampung Kalimporo, itu berbulan-bulan,” kata seorang lelaki Kajang yang berusia 70 tahun-an.



Andreas Harsono, melalui tulisannya dalam Human Rights Watch, menyebutkan betapa runyamnya masalah agama yang begitu personal jika diurus oleh negara. Pada 1952, Kementerian Agama, di bawah Menteri Wahid Hasjim, menerbitkan definisi untuk membedakan antara “kepercayaan” dan “agama”. Pada 1965, Presiden Soekarno menerbitkan peraturan agama resmi yang diakui negara untuk penduduk Indonesia, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Hal ini kemudian juga berkaitan dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Pasal 156(a) yang mengatur pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap golongan beragama sebagai tindak pidana.

Maka tak mengherankan, setiap manusia yang akan menggunakan peralatan dari alam perlu melakukan ritual untuk memohon izin. Memilih pohon untuk ditebang harus mendapatkan persetujuan dari makhluk yang menjaganya.
Pada masa lalu, menurut Erni, Kajang bermula dari sebuah Kerajaan Tanrung, sebuah kerajaan kecil yang berada di gunung Bawakaraeng. Pada masa itu, Ammatoa, sebagai pemimpin Kajang, membawa masyarakatnya menuju lembah. Ada yang bermukim di pesisir dan ada yang di kawasan hutan. “Dalam keyakinan mereka, Ammatoa bukan bawahan raja. Tapi dia bisa disejajarkan dengan raja sebab mereka punya aturan dan rakyat sendiri,” jelas Erni.
Dalam artikelnya yang diterbitkan dalam Jurnal Forest & Society, Abdurrahman Abdullah, Micah R. Fisher, dan Muhammad Alif K. Sahide menggambarkan bagaimana kosmologi identitas Kajang, melalui Ammatoa, menghubungkannya dengan lapisan kepemimpinan dan geanologi keluarga yang disebut Ada’ Limayya (adat lima) dalam garis keturunan. Namun, perkembangan lainnya ketika Kerajaan Gowa menyebar di hampir semua wilayah Sulawesi Selatan, membawa lapisan kepimpinan baru dengan garis Karaeng Tallua (tiga bangsawan).
Berjalannya waktu dan berkembangnya penduduk juga memaksa ratusan orang Kajang melakukan migrasi ke luar daerah. Beberapa dari mereka pergi ke kota Makassar dan menjadi buruh dan pekerja kasar, sementara yang lain ke Sulawesi Tenggara hingga Kalimantan, membuka hutan, menanam cengkeh dan kakao. Fenomena ini juga tak lepas dari kritik Abdurrahman, Micah, dan Alif dalam artikelnya. “Uang dari hasil kebun itu kemudian dibawa kembali ke Kajang, bahkan digunakan untuk membiayai hajatan politik lokal,” tulis mereka. Selain itu, diperkirakan sekitar 500 rumah tangga Kajang memiliki lahan lebih dari dua hektar perkebunan dalam kawasan hutan negara di Kolaka, Sulawesi Tenggara.



Menurut mereka, perdebatan lain yang muncul adalah terkait upaya konservasi dan keberlanjutan sosial. “Dengan kacamata perlindungan, hutan yang dijaga tanpa diolah dan dimanfaatkan menjadi kunci konservasi. Tapi di sisi lain, ada sistem sosial rumit yang juga perlu mendapatkan dukungan dan nilai dari perlindungan,” katanya.
Abdurrahman, Micah, dan Alif memberikan salah satu contoh sistem sosial yang rumit tersebut. Pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, kebijakan negara melalui kepimpinan militer dan polisi memudahkan pembangunan dengan metode pemaksaan. Pada medio 1980-an, Kepala Desa Tana Toa, tempat bermukim masyarakat Kajang, menonjolkan kemaslahatan wilayah yang dipimpinnya karena telah mengislamkan penduduk setempat. Penduduknya menjadi wajib mengubah beberapa ritual, dan mereka wajib mengambil peran sebagai tenaga kerja dalam proyek pembangunan.

Bersisian dengan Sejarah tersebut, kini, masyarakat Kajang menjaga hutan seluas 500-an hektar yang tak diperbolehkan untuk dikelola menjadi kebun. Bahkan pohon tumbang pun tak boleh digunakan. Dalam kawasan tersebut, terdapat 313 hektar hutan suci yang tak bisa dimasuki masyarakat, kecuali dalam sebuah ritual tertentu. Keberadaan hutan Kajang menjadi bagian dari identitas komunitas ini. Pada 2016, kawasan inti seluas 313 hektar itu menjadi hutan pertama di Indonesia yang mendapatkan status penetapan sebagai Hutan Adat Ammatoa oleh Pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor SK.6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016. Pengakuan itu menjadi legitimasi perubahan status kawasan hutan negara menjadi milik Komunitas Hukum Adat.

Ammatoa tetap memimpin masyarakatnya untuk menjaga keberadaan hutan dengan bantuan perangkat adat sebanyak 26 galla (menteri adat). Para galla akan membantu Ammatoa dalam semua unsur keberlanjutan hubungan antara manusia, alam, dan pencipta. Melalui berkat dan persetujuan Ammatoa, setiap tahun dilakukan upacara Addingingi sebagai ritual untuk mendinginkan bumi. “Itu untuk meminta doa agar semua isi dunia menjadi lebih baik,” ujar Ammatoa dalam Bahasa Konjo, bahasa lokal yang digunakan masyarakat Suku Makassar.
“Saya mendoakan semua orang, nak, bukan hanya orang Kajang. Jadi hutan itu bukti cara kita menjaganya,” lanjutnya.
Dalam banyak literatur, orang Kajang percaya bumi adalah salah satu pusat semua unsur kehidupan bermula; seperti ibu. Maka, dalam kesehariannya, mereka tidak menggunakan alas kaki, membuatnya menyatu dengan tanah. Mereka juga mengenakan pakaian hitam yang dalam kepercayaan Kajang menyimbolkan kesederhanaan. Inilah yang kemudian menjadi falsafahnya, sikamase-mase, saling mengasihi.