An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
The marginalization of local foods in Indonesia, particularly on Siberut Island in the Mentawai Islands and West Sumatra, can be traced back to the Dutch colonization efforts that were intensified during the New Order era and continue to this day. Historically, the staple food in Mentawai was sago, bananas, and tubers like taro, with rice being foreign to the population until the end of the 19th century. The Dutch administration attempted to introduce lowland rice to modernize the region, but their efforts failed. German Protestant missionaries from the Rheinische Mission were then invited to "civilize" Mentawai and promote rice cultivation as a means of progress.
Despite attempts to cultivate rice in Mentawai, the conditions, including inadequate irrigation, posed significant challenges, and the Dutch reported that these efforts were in vain. The shift from local foods to rice also occurred during the Dutch colonial era in Manggarai, East Nusa Tenggara (NTT). Rice was promoted as a symbol of progress, and the Dutch-backed King of Manggarai initiated projects to increase rice production. This shift led to the gradual disappearance of other local foods like sorghum and millet.
This history of the marginalization of local foods in favor of rice in Indonesia highlights the complex interplay between food, culture, and identity and underscores the importance of understanding and preserving local food traditions.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund more than 170 reporting projects every year on critical global and local issues. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Warisan Kolonial di Balik Peminggiran Budaya Pangan Lokal
Peminggiran pangan lokal merupakan bentuk hegemoni budaya yang berwatak kolonial serta merusak kemandirian dan kesehatan warga.
Peminggiran beragam pangan lokal tidak lepas dari upaya kolonialisasi Belanda ke kepulauan Nusantara yang semakin diperkuat di era Orde Baru dan diteruskan hingga kini. Jejak peminggiran pangan lokal secara lintas periode itu jelas terlihat di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Darmanto, peneliti Mentawai yang menjadi Research Fellow at the Oriental Institute, Czech Academy of Sciences, dalam tulisannya di Journal of Southeast Asian Studies (2023) mengungkap sejarah pergeseran sagu ke beras di Mentawai.
Disebutkan, hingga akhir abad ke-19, nasi merupakan makanan asing bagi sebagian besar penduduk Mentawai. Hingga saat itu, makanan pokok di Mentawai adalah sagu, pisang, dan umbi-umbian, terutama talas.
Upaya pertama penanaman padi di Pulau Mentawai dimulai setelah Belanda membangun garnisun militer di Muara Siberut pada 1911. Belanda saat itu beranggapan bahwa budidaya tanaman dan budaya Mentawai tidak efisien, primitif, dan harus dihapuskan. ”Misalnya, laporan yang ditulis oleh seorang perwira militer Belanda menyatakan bahwa orang Mentawai adalah orang-orang yang ′malas, tidak berkembang, dan bodoh’,” tulis Darmanto.
Para perwira Belanda itu kemudian memperkenalkan padi sawah sebagai upaya modernisasi, tetapi menuai kegagalan. Pemerintah kolonial kemudian mengundang misionaris Protestan dari Rheinische Mission, Jerman, untuk memulai ”proses peradaban” di Mentawai secara lebih sistematis.
Misionaris Jerman yang bertugas di Muara Siberut, Friedrich Börger, merekomendasikan bahwa penanaman padi adalah kunci untuk mengarahkan Mentawai menuju ”Tuhan dan kemajuan”. Menurut Börger, penanaman padi merupakan cara untuk membuat orang Mentawai memahami kerja keras.
Börger percaya bahwa nasi lebih bergizi dibandingkan dengan sagu dan talas. Lebih dari itu, dengan memproduksi padi, masyarakat Mentawai diharapkan akan memiliki lebih banyak waktu bersama, meninggalkan kepercayaan lama yang ditandai dengan periode tabu, ritual animisme, dan kepercayaan mendalam pada roh-roh hutan. Program cetak sawah itu pada akhirnya diharapkan akan membawa orang Mentawai bergabung dengan gereja.
Pada pertengahan tahun 1920-an, Börger memberi arahan kepada beberapa orang penganut Protestan dari Desa Katurei untuk menggali sawah kecil di Muara Siberut, meniru sawah beririgasi di Jawa. ”Sejarah lisan mengungkapkan, upaya ini tidak membuahkan hasil yang positif. Kolam tersebut tidak diairi dengan baik dan kekurangan air di musim kemarau,” tulis Darmanto mengutip catatan Börger, Das Missionsblatt (1920).
Padi tidak tumbuh dengan baik dan tidak memberikan hasil yang diharapkan dalam kondisi ini. Pada musim hujan, ladang tersapu banjir aliran Sungai Siberut dan rangkaian gelombang pasang. Sisa-sisa beras akan segera hilang diserang tikus dari hutan sekitar. Setelah beberapa kali mencoba, ”Petugas Belanda melaporkan bahwa segala upaya untuk membiasakan penduduk setempat dengan beras budidaya menjadi sia-sia,” tulis Darmanto.
Hilangnya identitas lokal
Romo Inosensius Sutam, budayawan pangan dari Keuskupan Ruteng, yang ditemui awal Agustus 2023 lalu, mengatakan, pergeseran pangan lokal di Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), ke beras juga dimulai sejak zaman kolonial Belanda. ”Padi (ladang) memang dibudidayakan sejak dulu, tetapi jumlahnya terbatas dan biasa hanya dikonsumsi di saat ritual atau acara-acara khusus,” katanya.
Orang Manggarai awalnya membudidayakan padi dan beragam tanaman lain secara campuran di lahan kering. Keberagaman sumber pangan di Manggarai itu tecermin dalam doa petani sebelum memula tanam, ”Loda wini woja, pau wini latun, wecak wini lempang, weri wini pesi, rendang wini sela, dorik wini hocu (menamam padi (ladang), menaburkan jagung, menabur sorgum, yang diikuti jawawut.”
Dalam kasus di Manggarai, sistem pertanian lahan kering itu digeser oleh sistem pertanian padi sawah. ”Awalnya, Belanda yang didukung gereja melakukan kampanye untuk membuka sawah di Manggarai. Padi sawah dianggap sebagai simbol kemajuan dan kemakmuran dan sebaliknya, perladangan simbol keterbelakangan,” katanya.
Pada tahun 1930-an, Raja Manggarai Aleksander Baruk yang didukung Belanda mengirim orang-orang Manggarai ke Bali dan Jawa Timur untuk belajar bersawah. Pada tahun 1939, Raja kemudian memulai proyek cetak sawah di Cancar, selain di Waereca (Borong), Orong (Lelak), dan Dimpong (Rahong).
”Persawahan jaring laba-laba di Cancar itu diadopsi dari pembagian tanah atau lodok untuk lahan kering dan baru dimulai sejak itu. Tetapi, sistem irigasi persawahannya itu diadopsi dari Bali. Jadi, sawah Cancar itu dulunya perladangan,” ujar Romo Inosensius.
Dengan mengganti padi ladang ke sawah, produksi padi bertambah. Beras yang sebelumnya hanya dikonsumsi dalam upacara-upacara adat akhirnya menjadi pangan pokok sehari-hari. Namun, pada saat yang sama, aneka ragam pangan lokal yang lain, seperti sorgum dan jawawut, yang biasa ditanam bersama padi perlahan hilang. Beragam benih pangan lokal, yang kebanyakan memiliki adaptasi baik terhadap iklim NTT yang kering, menghilang.
Menguat semasa Orde Baru
Upaya menggeser pangan lokal dengan cetak sawah semakin menguat di era Orde Baru. Bahkan, dikampanyekan lebih masif lagi bahwa orang-orang yang masih mengonsumsi pangan lokal sebagai orang miskin. ”Buku pelajaran sekolah tahun 1970-an, isinya Budi makan nasi. Kami di sekolah waktu kecil akan diejek kalau masih makan jagung atau sorgum,” kata Romo Inosensius.
Bagi orang Manggarai, sawah kemudian menjadi salah satu ukuran kesejahteraan. ”Sosok yang diangap ideal di era 80-an adalah mereka yang memiliki peko same raga. Ini merupakan kepanjangan dari orang yang memiliki rumah (pesek), kopi (ko), sawah (sa), mesin jahit (me), radio (ra) dan gas (ga),” kata Romo Inosensius.
Sebagaimana dilaporkan James J. Fox dalam The Heritage of Traditional Agriculture in Eastern Indonesia (1991), kebanggaan orang NTT makan nasi putih dibandingkan aneka pangan lokal, seperti jagung dan umbi-umbian, sudah terjadi sejak lama. Dimulai di era kolonial, diperkuat oleh Orde Baru.
Sejarah panjang hegemoni beras ini menyebabkan penduduk Manggarai, dan juga NTT pada umumnya, merasa inferior dengan keberagaman pangan lokalnya. Inferioritas ini bisa jadi penanda mengenai goyahnya identitas budaya pangan lokal.
Seperti ditunjukkan masyarakat suku Boti, di Timor Tengah Selatan, yang hingga saat ini masih bertahan, sistem pertanian lahan kering merupakan bagian terpenting dari sistem kepercayaan dan budaya lokal. Sejak pembukaan lahan, pemilihan benih, penanaman, hingga panen biasanya melibatkan ritual dan persembahan kepada roh nenek moyang. Maka, hilangnya praktik pertanian lahan kering pada umumnya juga diikuti pergeseran sistem kepercayaan dan budaya lokal.
Dibandingkan di NTT, peminggiran pangan lokal oleh beras di Mentawai di masa Orde Baru lebih keras lagi. Darmanto (2023) menyebutkan, setelah Orde Baru, upaya pencetakan sawah lebih digencarkan hingga ke pedalaman, termasuk dengan paksaan. Pada akhir tahun 1970-an, pemerintah pusat menetapkan penduduk Mentawai sebagai masyarakat terasing dan membuat program ”peradaban dan pembangunan”.
Budidaya padi sebagai salah satu indikator tingkat pembangunan dan kinerja administrasi daerah. Hal ini kemudian diterapkan dengan memaksa warga Mentawai, hingga pedalaman, untuk menanam padi. Kampung-kampung tradisional Mentawai yang semula terpencar berdasarkan uma atau rumah adat kemudian disatukan dalam desa-desa administratif agar mudah dikoordinasi.
Pius Sadodolu (72), warga Dusun Salappa, Desa Muntei, yang ditemui pada Selasa (26/9/2023), mengisahkan tekanan yang dialami keluarganya di masa lalu agar menanam padi. Menurut Pius, sejak ia kecil, orangtuanya sudah bersawah, walaupun hasilnya tidak memadai. Waktu itu, Dusun Salappa yang berada di aliran Sungai Silaoinan, pedalaman Siberut, masih bernama Kampung Silaoinan Hilir.
Luas sawah orangtua Pius waktu itu sekitar 0,5 hektar yang terbagi atas delapan petak. Sawah mereka berhasil panen meskipun tidak banyak. Mereka bersawah setahun sekali selama periode musim hujan Juli-Desember.
Menurut Pius, camat saat itu mewajibkan setiap keluarga punya sawah. ”Kalau tidak, kena hukum atau denda. Keluarga yang malas menyawah mendatangi kepala desa, disuruh kerja membersihkan desa atau membuat jalan,” ujar Pius.
Pius juga sempat menyawah, sekalipun dengan setengah hati. Bagi masyarakat di hulu sungai ini, sagu tetap menjadi makanan pokok. Beras lebih menjadi makanan bagi anak-anak.
”Anak-anak yang makan sagu dan keladi akan diolok-olok karena dianggap ketinggalan zaman. Petugas kesehatan juga berulang kali menyampaikan, beras lebih sehat,” kata Pius.
Sebelumnya, keladi menjadi makanan tambahan pertama anak-anak Mentawai selepas dari air susu ibu. Berikutnya, setelah agak besar, mereka mulai makan sagu. Namun, sejak itu anak-anak mulai makan bubur beras dan setelahnya mengonsumsi beras. Hal inilah yang menyebabkan generasi Mentawai yang lahir setelah tahun 1970-an menjadi bergantung pada beras.
Mitos kemajuan
Ketika pergeseran pola konsumsi dari pangan lokal ke beras terjadi secara meluas, produksi padi justru mengalami kemandekan, bahkan di beberapa tempat justru mengalami kemunduran. Seperti terjadi di Pulau Siberut, begitu paksaan untuk menanam padi dilonggarkan, sawah-sawah di Silaoinan Hilir mulai ditinggalkan.
Tahun 1980-an, warga mulai berhenti karena pekerjaan di sawah dianggap menyita waktu dan hasilnya tidak memadai. Pius dan keluarga juga berhenti bersawah. ”Kami berhenti bersawah karena sebagian orang sudah tidak lagi bersawah. Kalau sendiri saja, habis sawah kita oleh hama burung dan tikus,” kata Pius.
Markus Sabailatti (53), warga Dusun Salappa, Senin (25/9/2023), mengatakan, orangtuanya dulu di Dusun Simagosi juga pernah bersawah beberapa tahun. Sejak usia 10 tahun ia juga ikut membantu menanam, menyabit padi, menjemur, dan menumbuk gabah.
”Beras waktu itu makanan sampingan saja. Makanan utama keluarga tetap sagu. Beras untuk penambah-nambah saja, tidak pula dijual,” kata Markus.
Sama seperti Pius, sekitar tahun 1984, keluarga Markus berhenti bersawah. Penyebabnya, banyak warga yang tidak mau bersawah. Bersawah di Mentawai harus dilakukan bersama-sama dan serentak. Kalau hanya 2-3 keluarga saja yang bersawah, habis diserang hama burung dan tikus.
Menurut Markus, bagi sebagian besar warga, bersawah itu susah dan melelahkan karena harus dirawat intensif, berbeda dengan berladang yang tumbuhannya setelah ditanam bisa dibiarkan saja. Apalagi sagu yang tinggal panen. ”Kalau padi jika tidak dirawat tidak ada hasilnya,” ujarnya. ”Kalau kami panen sagu, dari satu batang sagu dengan waktu kerja seminggu bisa makan sekeluarga untuk dua sampai tiga bulan.”
Dari segi produktivitas kerja, budidaya padi di Mentawai memang tidak menguntungkan warga. Laporan antropolog dari Universitas Leiden, Gerard Persoon (From Sago to Rice, 1992), menyebutkan, satu jam kerja orang Mentawai menghasilkan 2,6 kg sagu. Dalam kurun waktu sama, beras yang dihasilkan hanya 0,6 kg.
Sementara dari segi gizi, Persoon juga mengemukakan bahwa perbandingan antara beras dan sagu harus mempertimbangkan semua komponen makanan dari bahan makanan tersebut. Faktor yang menentukan bukanlah kuantitas gizi dari sagu atau beras, melainkan total komposisi dari makanan tersebut.
Secara tradisional, masyarakat Mentawai biasa menyajikan sagu dan umbi-umbian dengan banyak ikan, kerang, daging, atau sayuran. Sebaliknya, makanan berbahan dasar nasi biasanya tidak memiliki hidangan pelengkap tersebut. Sebagaimana terlihat hari-hari ini, orang Mentawai kerap makan nasi kosong, bahkan kerap mengonsumsi nasi dengan mi instan.
Kebiasaan makan orang Mentawai ini patut jadi perhatian karena faktanya daerah-daerah di Mentawai yang sudah cukup berhasil membudidayakan padi justru tidak lepas dari gizi buruk. Hal ini terlihat di Dusun Sinaka, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, yang sebagian besar penduduknya telah meninggalkan pangan lokal dan mengonsumsi beras, tetapi angka stunting-nya justru paling tinggi di Mentawai.