Terjemahkan halaman dengan Google

Artikel Publication logo Oktober 30, 2024

Derita Buruh Sawit Perempuan di Tengah Krisis Iklim, dari Keguguran hingga Nyaris Buta

Negara:

Penulis:
Jambi, Indonesia - January 22, 2018. Women workers in oil palm plantation. Image by Muhdan Syarovy/Shutterstock.
Inggris

Women at the job sites experience health problems.

SECTIONS

Buruh sawit perempuan sedang menyemprot di perkebunan sawit replanting di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi pertengahan September lalu. Foto oleh Suwandi/KOMPAS. Indonesia, 2024.

JAMBI – Regulasi belum seutuhnya melindungi hak-hak  buruh perempuan, yang bekerja di perkebunan sawit. Termasuk  perlindungan kesehatan karena bekerja luar ruangan di tengah krisis iklim. 

Ketika bekerja mereka terpapar sinar matahari menyengat 5-6 jam setiap  hari. Suhu rata-rata musim kemarau berada di kisaran 33-35 derajat celcius.  Sementara target pekerjaan terus meningkat. 

Buruh sawit perempuan yang bekerja luar ruangan mengalami banyak  persoalan kesehatan, mulai dari keguguran, dehidrasi, pingsan, rabun, batuk  kronis, gatal-gatal di area kemaluan dan gangguan infeksi saluran  pernapasan akut. 


Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!


Saraswati, bukan nama sebenarnya mengalami keguguran. Ia tinggal di  Kabupaten Sarolangun, Jambi. Aturan perusahaan memang melarang  perempuan hamil untuk masuk kerja. 

Buruh sawit keguguran 

“Saya sendiri yang salah, sudah tahu hamil masih nekad kerja. Sekarang  saya sudah ikhlas,” kata Saraswati pasrah, saat ditemui Kompas.com di  rumahnya, awal September lalu. 

Ia bilang baru menyadari sedang hamil muda setelah diperiksa bidan desa.  Niat untuk libur kerja, katanya akan disampaikan secara langsung kepada  mandor.  

Lagi pula pemeriksaan bidan desa terjadi pertengahan bulan. Saraswati pun  merasa harus menuntaskan pekerjaan sampai akhir bulan. Lumayan  bayaran buruh harian lepas yang tak sampai Rp100.000 per hari dapat  ditabung, untuk keperluan melahirkan kelak. 

Suaminya yang kerja serabutan mendorong Saraswati banting tulang, untuk  mencukupi kebutuhan dapur. Malamnya dia mengerjakan pesanan kue  sampai larut. 

Setelah mengantar kue ke pelanggan, pagi masih remang-remang dia  bergegas menuju kebun yang berada di belakang dusun. Kala itu usia  tanaman sawit baru 2-3 tahun. Masih sangat rendah.

Seperti biasa bulan kemarau panas begitu menyengat. Tubuhnya sudah  banjir keringat mulai pukul 09.00 WIB. Lantaran buru-buru ia hanya  membawa sebotol air. Hingga pada pukul 11.30 WIB air minumnya tandas. 

Mulutnya terasa kering, tapi dia harus menyelesaikan target sekitar satu  hektar atau 120 batang sawit. Ia harus membersihkan gulma (piringan)  sawit hampir dua meter, keliling.  

“Awalnya itu lemes, terus tangan-tangan itu geter. Kepala sakit, aku kira  maag kambuh. Terus mimisan, keluar darah dari hidung,” kata Saraswati  menceritakan peristiwa setahun lalu. 

Ia pun berinisiatif ingin istirahat sejenak di bawah pohon sawit, dengan  membentang kain panjang agar teduh. Tapi baru sejenak duduk, mandor  lewat. Saraswati pun bergegas bangkit, tiba-tiba matanya berkunang kunang. Gelap. 

Ia baru sadar setelah di rumah sakit. Selang infus sudah menghujam di  tangan kirinya. Kata dokter Saraswati mengalami dehidrasi parah dan  kelelahan. Sehingga mengalami pendarahan. 

“Saya menangis, dada saya rasanya remuk. Kata dokter saya keguguran.  Anak pertama yang kami impikan, kini sudah tidak ada,” kata perempuan  dengan butiran kristal di sudut kelopak matanya. 

Sudah jatuh tertimpa tangga. Biaya rumah sakit harus ditanggung sendiri.  Lantaran ia tak mengantongi kartu badan penyelenggara jaminan sosial  (BPJS). 

“Tidak masalah bayar sendiri, yang penting tidak dipecat,” kata Saraswati. 

Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional  (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam webinar mengatakan perubahan iklim dapat  memicu berbagai masalah kehamilan, seperti kelahiran prematur atau keguguran. 

Selain itu, kata Hasto merujuk berbagai penelitian, krisis iklim telah  berpengaruh terhadap kondisi yang menyebabkan pertumbuhan janin  terhambat. Potensi stunting jadi meningkat. 

Sengatan panas berlebih dapat meningkatkan kasus Preeklampsia yaitu  tekanan darah ibu hamil naik setelah 20 minggu kehamilan, padahal  biasanya normal. Risiko kematian saat melahirkan lebih terbuka. 

Hasto telah mewaspadai dampak krisis iklim terhadap perempuan, agar tak  berdampak pada kesehatan reproduksi mereka. Target menurunkan angka kematian ibu menuju 70 per 100.000 penduduk tahun 2030 masih ada tantangan.  

“Tahun lalu angka kematian ibu adalah 189 per 100.000 penduduk.  Kemudian tahun ini angkanya 183 per 100.000 penduduk. Kita berharap  terus turun,” katanya. 

Apa yang disebut Hasto, senada dengan penelitian yang muncul di Journal of  Global Health yang dinisiasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hasilnya  cuaca panas ekstrem telah menyebabkan kelahiran prematur, penyebab  utama kematian anak.  

Setiap tambahan satu derajat Celsius, pada suhu minimum harian di atas  23,9 derajat Celsius, terbukti meningkatkan risiko kematian bayi sebanyak 22,4 persen. 

Selanjutnya orang lanjut usia lebih mungkin menderita serangan jantung  atau gangguan pernapasan. 

Buruh sawit nyaris buta


Tangan buruh sawit perempuan mengalami pembengkakan karena bekerja tanpa alat pelindung diri di Tanjung Jabung Timur, Jambi awal Oktober lalu. Foto oleh Suwandi/KOMPAS. Indonesia, 2024.

Buruh sawit perempuan lainnya, AI berusia 47 tahun dari Nipah Panjang,  Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. tugasnya menyemprot gulma  dengan cairan herbisida. 

Pada pertengahan tahun 2017 yang panas, dia bekerja seperti biasa. Sejak  pukul 10.00 WIB panas sudah terasa. Ia mengaku sengatan matahari kini semakin panas. 

Dalam benak AI target harus segera rampung. Maka ketika pukul 11.00, ia  mengisi tangki penyemprot dengan racun rumput. 

“Panas sekali cuacanya. Ketika mau tuangkan racun rumput ke dalam  tangki, yang sudah ada airnya. Tiba-tiba airnya muncrat kena mata,” kata AI.  

Padahal biasanya tidak pernah begitu. Mungkin hilang konsentrasi dan  kelelahan karena saking panasnya. 

Ia tidak pernah dibekali alat keselamatan seperti masker, kacamata, hingga  baju pelindung oleh perusahaan. Karena itu, cairan herbisida yang tiba-tiba  meluap, langsung berkontak dengan matanya. 

AI kala itu tidak bisa langsung mencuci matanya karena tidak ada air bersih.  Hanya diusap dengan kain. Ia terpaksa pulang untuk membersihkan mata  dan wajahnya dari cairan kimia yang berbahaya.

Awalnya, ia tidak mengeluhkan apa pun. Tapi empat hari kemudian, matanya terasa sakit. 

“Sampai di rumah sekitar jam 12.00 WIB. Sudah dicuci, hilang. Setelah  empat hari, terasa pedih dan tidak bisa melek,” katanya. 

Kedua matanya sempat diperiksa di Puskesmas Nipah Panjang. Petugas  kesehatan segera merujuknya ke rumah sakit di Kota Jambi. Jika tak  secepatnya ditangani, ada potensi AI mengalami kebutaan. 

“Kata dokter, kalau tidak segera berobat ke Jambi, bisa-bisa buta,” katanya. 

Biaya pengobatan pun dengan dana sendiri. Tak ada santunan dari  perusahaan. AI mengeluarkan uang Rp2 juta, belum termasuk biaya  transportasi dan kebutuhan makan.  

Sama dengan buruh lain, ia tak memiliki BPJS Kesehatan. 

Dua hari ia menjalani pengobatan. Meskipun dokter membolehkan pulang, ia  tak bisa langsung kerja. Butuh waktu sebulan untuk penyembuhan. Namun  setelah sembuh, matanya kurang awas untuk melihat alias rabun.  

Trauma menyelimuti AI. Dia pindah tugas dari menyemprot menjadi tukang  pupuk atau penebas gulma. Tujuh tahun kemudian, April 2024 ia baru  berani mengambil tugas menyemprot herbisida. Tetapi, malah mimisan. 

“Tidak sampai pingsan, cuma keluar darah dari hidung. Saya langsung  pulang,” kata AI. 

Gaji naik, kerja nambah

Risiko pekerjaan AI sangat tinggi, apalagi bekerja di tengah krisis iklim.  Perusahaan terkadang memberi beban kerjaan lebih banyak, setelah  menaikkan upah. 

“Dak sanggup lagi kerja mupuk, targetnya lebih banyak. Sekarang 12 sak (satu karung berisi 50 kilogram) dalam sehari. Kalau dulu sekitar 8 sak,” ujarnya. 

Selain mimisan, ketika panas menyengat AI merasakan sakit kepala  sebelah, yang begitu menyiksa.  

Dia merasa tidak sanggup lagi dan memilih berhenti dari pekerjaan buruh sawit. Sudah sebulan merintis usaha galon bersama suami. 

Penderitaan lainnya dialami Siti (46), buruh perempuan di perusahaan yang  sama, pun merasakan dampak dari eksploitasi. Dengan alasan upah meningkat sebesar Rp121.000 per hari, target pekerjaannya semakin meningkat.  

Ia harus memupuk berkisar 143 tanaman sawit di lahan satu hektare. Ini  dilakukan dari pagi hingga sore. Mandor dan asisten lapangan hanya  memberikan waktu sejenak untuk beristirahat, tidak peduli pada cuaca panas. 

“Satu hektar, satu hari, lima baris pohon kali 27 baris, jadi kisaran 143  batang. Kadang lebih. Tergantung mandor-lah. Kalau mandor yang  sekarang, ampun. Istirahatnya kurang dari 15 menit, setelah itu langsung  berdiri. Sanggup dak sanggup, harus pulang sesuai jam,” katanya. 

Siti sudah belasan tahun bekerja di sana. Namun, perusahaan tidak pernah  menanggung biaya kesehatan. Bila kurang sehat, ia berobat sendiri. 

“Pernah sih, gatal-gatal, minum obat be. Tidak ada tanggung jawab dari  perusahaan. BPJS ketenagakerjaan tidak ada,” ujarnya. 

Tidak hanya itu, peningkatan suhu memperparah kondisi lapangan. Siti  kadang kala merasakan sakit kepala imbas cuaca panas ekstrem.  

“Asal terlalu panas, mulai sakit kepala,” katanya. 

Sedangkan sebagian besar peralatan untuk menyemprot dan menebas  hama, itu juga ditanggung sendiri oleh para buruh. Perusahaan hanya  menyediakan tangki dan racun semprot. 

“Ember-ember dari kito-lah. Parang kito jugo,” katanya.

Buruh muntah darah

Ibu tiga anak ini paham betul risiko menggunakan herbisida tanpa alat  pengaman. Makannya kerja dengan hati-hati. Harus melihat arah angin  ketika menyemprot. 

“Saya belum pernah kena mata. Kawan ada yang kena, karena melawan  arah angin,” katanya. 

Tidak hanya nyaris buta, teman buruhnya yang baru kerja, tak memahami  kondisi lapangan, menyemprot melawan arah angin. Maka banyak racun  yang terhirup dan sempat muntah darah. 

“Ada yang masih baru kerja, muntah darah dia. Mungkin karena melawan  angin dan terhirup racun,” ujarnya.

Dengan adanya persoalan buruh, Tina (44) menuturkan pihak perusahaan  sempat berjanji untuk membuat klinik di sekitar area kerja. Namun, sampai  sekarang itu belum terwujud. 

“Katanya itu sudah diusulkan ke atasan (pimpinan perusahaan). Kemarin itu  ada usulan, klinik untuk karyawan, berharap itu jadi,” ujarnya. 

Ia pun berharap perusahaan memperhatikan kesehatan para buruh dan  tidak menetapkan jam kerja yang berlebih tanpa istirahat yang cukup. 

“Jam kerjanya itu jangan terlalu lama. Bolehlah kita istirahat,” katanya berharap. 

Baginya bekerja di musim kemarau sangat menyiksa buruh, terutama  perempuan. “Kemarau sebulan itu rasa setahun,” katanya. 

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, tercatat 186 perusahaan  sawit menguasai lahan sekitar 550.000 hektar. Dengan jumlah itu, jika  diasumsikan satu hektar satu buruh, maka jumlah buruh sawit perempuan  mencapai 550.000 jiwa. 

Buruh perempuan terabaikan

Direktur Beranda Perempuan, Ida Zubaida menuturkan tanpa harus  mengalami dampak buruk dari krisis iklim, nasib buruh perempuan di kebun  sawit, sudah sangat menderita.  

Undang-undang ketenagakerjaan sambung Ida belum melindungi hak-hak  buruh perempuan. Pemerintah dan perusahaan bahkan mengabaikan  kebutuhan mereka seperti upah layak. 

Hasil temuan Beranda Perempuan, lebih dari 90 persen buruh perempuan  menerima upah di bawah upah minimum provinsi (UMP). Dalam bekerja  mereka tak dibekali alat pelindung diri untuk keselamatan dan kesehatan kerja.  

Buruh perempuan ketika bekerja senantiasa terpapar bahan kimia dari pupuk  dan pestisida. Bahan kimia berbahaya dan beracun yang terakumulasi dalam  tubuh, bisa mengakibatkan gangguan kesehatan dan kematian. 

“Kalau buruh perempuan sedang cuti hamil, mereka tak mendapatkan  penghasilan. Buruh harian lepas itu dibayar kalau kerja. Bahkan yang sudah  bekerja di atas 1 tahun pun, tak pernah dijadikan karyawan,” kata Ida. 

Satu dekade terakhir, buruh sawit perempuan bekerja di luar ruangan dengan  panas yang terik. Banyak di antara mereka pingsan, mimisan dan mengalami  gangguan reproduksi seperti gatal-gatal pada bagian kemaluan.

Krisis iklim membuat sumber air menghilang. Hilangnya air di tempat kerja,  sebagian perempuan terpaksa menahan kencing. Dalam waktu lama akan  terserang ginjal. 

MP mantan buruh sawit perempuan, yang kini berusia 55 tahun sudah tiga  kali operasi ginjal. Selama bekerja di kebun sawit, dia kerap menahan  kencing, karena terbatasnya air. 

Penelitian Beranda Perempuan mengungkap jika satu keluarga buruh sawit  mengalami penyakit paru-paru kronis. Batuknya tak mau sembuh. Saat  kebakaran tahun lalu, ia terpapar kabut asap. Hasil pemeriksaan dokter  mengalami infeksi saluran pernapasan akut. 

“Sudah lebih setahun, satu keluarga paru-parunya rusak, karena paparan  asap saat kebakaran,” kata Ida. 

Setelah berbulan-bulan tak bekerja karena sakit, mereka dipecat. Perusahaan  tak memberi uang untuk pengobatan. Mereka dengan biaya sendiri membeli  obat paru-paru dan oksigen.  

“Mereka berharap ada bantuan dari pemerintah, untuk mengakses  pengobatan gratis,” kata Ida. 

Tidak hanya buruh perempuan yang terdampak asap, melainkan anak-anak  yang menderita infeksi saluran pernapasan akut.  

Krisis iklim telah mengeringkan sumber air di lahan gambut, kemudian terjadi  kebakaran. Jika api tak segera padam, maka warga yang terhirup asap akan  mengalami gangguan kesehatan, termasuk buruh. 

Dosen Hukum Universitas Airlangga, Jani Purnwanty mengatakan buruh  informal bekerja di luar ruangan mendapatkan tekanan berat di tengah krisis  iklim. Mereka mengalami dampak berlapis. 

Buruh butuh aturan khusus

Peneliti krisis iklim dan ketenagakerjaan, penerima hibah Impact Seed  Funding dari Pulitzer Center, menegaskan pekerja formal terkadang tak  terlindungi undang-undang, apalagi pekerja informal semakin tak terjangkau. 

Tidak ada aturan khusus untuk melindungi buruh perempuan, yang menjaga  mereka dari gangguan kesehatan karena krisis iklim. “Tidak ada aturan  khusus untuk mengatasi climate change,” kata Jani. 

Sebenarnya aturan keselamatan kerja bisa melindungi pekerja dari krisis  iklim. Masalahnya itu untuk pekerja formal, sementara buruh perempuan ini  bukan karyawan.

“Ketika sinar matahari semakin panas, kerja buruh perempuan semakin  rentan dan jadi korban berkali-kali,” kata Jani. 

Buruh perempuan yang bekerja di kebun sawit tak memiliki pilihan. Mereka  tak mendapatkan informasi, jika bekerja di luar ruangan dengan kondisi panas  menyengat dalam waktu yang lama, akan berdampak buruk bagi kesehatan. 

Mereka harus mendapatkan perlakukan khusus. Perusahaan sawit tak bisa  produksi tanpa buruh. Artinya mereka ujung tombak perusahaan, tapi justru  mendapatkan gaji paling kecil, rawan sakit dan lemah. 

Dengan banyaknya kasus perempuan yang terdampak krisis iklim saat  bekerja, Jason Kai Wei Lee, Director Heat Resilience and Performance  Centre, National University of Singapore menuturkan pemerintah harus  segera merumuskan kebijakan untuk melindungi buruh perempuan. 

Ia mengatakan pemerintah Singapura telah memberlakukan undang-undang  cuaca panas melalui peningkatan langkah-langkah bagi pekerja di luar  ruangan, yang berlaku efektif pada bulan Oktober 2023.  

Misalnya, pemberi kerja harus memantau Wet Bulb Globe Temperature  (WBGT) dan memberikan istirahat wajib ketika suhu melebihi 32 derajat celsius.  

“Singapura ingin mengurangi penyakit yang berhubungan dengan panas dan  memastikan lingkungan kerja yang lebih aman,” kata Jason dalam webinar Pulitzer Center terkait Too Hot To Work: Progress and Challenges in Heat  Legislation for Worker Protection, Jumat (4/10/2024). 

Menurut Jason stres panas berdampak serius terhadap keselamatan dan  kesehatan pekerja, karena mereka terpapar suhu harian yang lebih tinggi serta gelombang panas yang lebih sering dan parah. 

Dalam jangka panjang, pekerja dapat terserang penyakit kronis yang serius  dan melemahkan, yang berdampak pada sistem kardiovaskular dan  pernapasan serta ginjal. 

Tidak ada alasan perusahaan untuk menolak aturan istirahat pekerja luar  ruangan saat panas. Hasil penelitian Jason, menunjukkan semakin banyak  istirahat ketika cuaca panas, maka semakin produktif, dibanding harus  bekerja sepanjang hari ketika panas. 

RELATED TOPICS

yellow halftone illustration of an elephant

Topic

Environment and Climate Change

Environment and Climate Change
yellow halftone illustration of two construction workers moving a wheelbarrow of dirt

Topic

Extractive Industries

Extractive Industries
Three women grouped together: an elderly woman smiling, a transwoman with her arms folded, and a woman holding her headscarf with a baby strapped to her back.

Topic

Gender Equality

Gender Equality
navy halftone illustration of a female doctor with her arms crossed

Topic

Health Inequities

Health Inequities
teal halftone illustration of a construction worker holding a helmet under their arm

Topic

Labor Rights

Labor Rights
a yellow halftone illustration of a truck holding logs

Topic

Rainforests

Rainforests

RELATED INITIATIVES

yellow halftone illustration of a logging truck holding logs

Initiative

Rainforest Reporting

Rainforest Reporting

Support our work

Your support ensures great journalism and education on underreported and systemic global issues