JAMBI – Regulasi belum seutuhnya melindungi hak-hak buruh perempuan, yang bekerja di perkebunan sawit. Termasuk perlindungan kesehatan karena bekerja luar ruangan di tengah krisis iklim.
Ketika bekerja mereka terpapar sinar matahari menyengat 5-6 jam setiap hari. Suhu rata-rata musim kemarau berada di kisaran 33-35 derajat celcius. Sementara target pekerjaan terus meningkat.
Buruh sawit perempuan yang bekerja luar ruangan mengalami banyak persoalan kesehatan, mulai dari keguguran, dehidrasi, pingsan, rabun, batuk kronis, gatal-gatal di area kemaluan dan gangguan infeksi saluran pernapasan akut.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Saraswati, bukan nama sebenarnya mengalami keguguran. Ia tinggal di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Aturan perusahaan memang melarang perempuan hamil untuk masuk kerja.
Buruh sawit keguguran
“Saya sendiri yang salah, sudah tahu hamil masih nekad kerja. Sekarang saya sudah ikhlas,” kata Saraswati pasrah, saat ditemui Kompas.com di rumahnya, awal September lalu.
Ia bilang baru menyadari sedang hamil muda setelah diperiksa bidan desa. Niat untuk libur kerja, katanya akan disampaikan secara langsung kepada mandor.
Lagi pula pemeriksaan bidan desa terjadi pertengahan bulan. Saraswati pun merasa harus menuntaskan pekerjaan sampai akhir bulan. Lumayan bayaran buruh harian lepas yang tak sampai Rp100.000 per hari dapat ditabung, untuk keperluan melahirkan kelak.
Suaminya yang kerja serabutan mendorong Saraswati banting tulang, untuk mencukupi kebutuhan dapur. Malamnya dia mengerjakan pesanan kue sampai larut.
Setelah mengantar kue ke pelanggan, pagi masih remang-remang dia bergegas menuju kebun yang berada di belakang dusun. Kala itu usia tanaman sawit baru 2-3 tahun. Masih sangat rendah.
Seperti biasa bulan kemarau panas begitu menyengat. Tubuhnya sudah banjir keringat mulai pukul 09.00 WIB. Lantaran buru-buru ia hanya membawa sebotol air. Hingga pada pukul 11.30 WIB air minumnya tandas.
Mulutnya terasa kering, tapi dia harus menyelesaikan target sekitar satu hektar atau 120 batang sawit. Ia harus membersihkan gulma (piringan) sawit hampir dua meter, keliling.
“Awalnya itu lemes, terus tangan-tangan itu geter. Kepala sakit, aku kira maag kambuh. Terus mimisan, keluar darah dari hidung,” kata Saraswati menceritakan peristiwa setahun lalu.
Ia pun berinisiatif ingin istirahat sejenak di bawah pohon sawit, dengan membentang kain panjang agar teduh. Tapi baru sejenak duduk, mandor lewat. Saraswati pun bergegas bangkit, tiba-tiba matanya berkunang kunang. Gelap.
Ia baru sadar setelah di rumah sakit. Selang infus sudah menghujam di tangan kirinya. Kata dokter Saraswati mengalami dehidrasi parah dan kelelahan. Sehingga mengalami pendarahan.
“Saya menangis, dada saya rasanya remuk. Kata dokter saya keguguran. Anak pertama yang kami impikan, kini sudah tidak ada,” kata perempuan dengan butiran kristal di sudut kelopak matanya.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Biaya rumah sakit harus ditanggung sendiri. Lantaran ia tak mengantongi kartu badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS).
“Tidak masalah bayar sendiri, yang penting tidak dipecat,” kata Saraswati.
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam webinar mengatakan perubahan iklim dapat memicu berbagai masalah kehamilan, seperti kelahiran prematur atau keguguran.
Selain itu, kata Hasto merujuk berbagai penelitian, krisis iklim telah berpengaruh terhadap kondisi yang menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Potensi stunting jadi meningkat.
Sengatan panas berlebih dapat meningkatkan kasus Preeklampsia yaitu tekanan darah ibu hamil naik setelah 20 minggu kehamilan, padahal biasanya normal. Risiko kematian saat melahirkan lebih terbuka.
Hasto telah mewaspadai dampak krisis iklim terhadap perempuan, agar tak berdampak pada kesehatan reproduksi mereka. Target menurunkan angka kematian ibu menuju 70 per 100.000 penduduk tahun 2030 masih ada tantangan.
“Tahun lalu angka kematian ibu adalah 189 per 100.000 penduduk. Kemudian tahun ini angkanya 183 per 100.000 penduduk. Kita berharap terus turun,” katanya.
Apa yang disebut Hasto, senada dengan penelitian yang muncul di Journal of Global Health yang dinisiasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hasilnya cuaca panas ekstrem telah menyebabkan kelahiran prematur, penyebab utama kematian anak.
Setiap tambahan satu derajat Celsius, pada suhu minimum harian di atas 23,9 derajat Celsius, terbukti meningkatkan risiko kematian bayi sebanyak 22,4 persen.
Selanjutnya orang lanjut usia lebih mungkin menderita serangan jantung atau gangguan pernapasan.
Buruh sawit nyaris buta
Buruh sawit perempuan lainnya, AI berusia 47 tahun dari Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. tugasnya menyemprot gulma dengan cairan herbisida.
Pada pertengahan tahun 2017 yang panas, dia bekerja seperti biasa. Sejak pukul 10.00 WIB panas sudah terasa. Ia mengaku sengatan matahari kini semakin panas.
Dalam benak AI target harus segera rampung. Maka ketika pukul 11.00, ia mengisi tangki penyemprot dengan racun rumput.
“Panas sekali cuacanya. Ketika mau tuangkan racun rumput ke dalam tangki, yang sudah ada airnya. Tiba-tiba airnya muncrat kena mata,” kata AI.
Padahal biasanya tidak pernah begitu. Mungkin hilang konsentrasi dan kelelahan karena saking panasnya.
Ia tidak pernah dibekali alat keselamatan seperti masker, kacamata, hingga baju pelindung oleh perusahaan. Karena itu, cairan herbisida yang tiba-tiba meluap, langsung berkontak dengan matanya.
AI kala itu tidak bisa langsung mencuci matanya karena tidak ada air bersih. Hanya diusap dengan kain. Ia terpaksa pulang untuk membersihkan mata dan wajahnya dari cairan kimia yang berbahaya.
Awalnya, ia tidak mengeluhkan apa pun. Tapi empat hari kemudian, matanya terasa sakit.
“Sampai di rumah sekitar jam 12.00 WIB. Sudah dicuci, hilang. Setelah empat hari, terasa pedih dan tidak bisa melek,” katanya.
Kedua matanya sempat diperiksa di Puskesmas Nipah Panjang. Petugas kesehatan segera merujuknya ke rumah sakit di Kota Jambi. Jika tak secepatnya ditangani, ada potensi AI mengalami kebutaan.
“Kata dokter, kalau tidak segera berobat ke Jambi, bisa-bisa buta,” katanya.
Biaya pengobatan pun dengan dana sendiri. Tak ada santunan dari perusahaan. AI mengeluarkan uang Rp2 juta, belum termasuk biaya transportasi dan kebutuhan makan.
Sama dengan buruh lain, ia tak memiliki BPJS Kesehatan.
Dua hari ia menjalani pengobatan. Meskipun dokter membolehkan pulang, ia tak bisa langsung kerja. Butuh waktu sebulan untuk penyembuhan. Namun setelah sembuh, matanya kurang awas untuk melihat alias rabun.
Trauma menyelimuti AI. Dia pindah tugas dari menyemprot menjadi tukang pupuk atau penebas gulma. Tujuh tahun kemudian, April 2024 ia baru berani mengambil tugas menyemprot herbisida. Tetapi, malah mimisan.
“Tidak sampai pingsan, cuma keluar darah dari hidung. Saya langsung pulang,” kata AI.
Gaji naik, kerja nambah
Risiko pekerjaan AI sangat tinggi, apalagi bekerja di tengah krisis iklim. Perusahaan terkadang memberi beban kerjaan lebih banyak, setelah menaikkan upah.
“Dak sanggup lagi kerja mupuk, targetnya lebih banyak. Sekarang 12 sak (satu karung berisi 50 kilogram) dalam sehari. Kalau dulu sekitar 8 sak,” ujarnya.
Selain mimisan, ketika panas menyengat AI merasakan sakit kepala sebelah, yang begitu menyiksa.
Dia merasa tidak sanggup lagi dan memilih berhenti dari pekerjaan buruh sawit. Sudah sebulan merintis usaha galon bersama suami.
Penderitaan lainnya dialami Siti (46), buruh perempuan di perusahaan yang sama, pun merasakan dampak dari eksploitasi. Dengan alasan upah meningkat sebesar Rp121.000 per hari, target pekerjaannya semakin meningkat.
Ia harus memupuk berkisar 143 tanaman sawit di lahan satu hektare. Ini dilakukan dari pagi hingga sore. Mandor dan asisten lapangan hanya memberikan waktu sejenak untuk beristirahat, tidak peduli pada cuaca panas.
“Satu hektar, satu hari, lima baris pohon kali 27 baris, jadi kisaran 143 batang. Kadang lebih. Tergantung mandor-lah. Kalau mandor yang sekarang, ampun. Istirahatnya kurang dari 15 menit, setelah itu langsung berdiri. Sanggup dak sanggup, harus pulang sesuai jam,” katanya.
Siti sudah belasan tahun bekerja di sana. Namun, perusahaan tidak pernah menanggung biaya kesehatan. Bila kurang sehat, ia berobat sendiri.
“Pernah sih, gatal-gatal, minum obat be. Tidak ada tanggung jawab dari perusahaan. BPJS ketenagakerjaan tidak ada,” ujarnya.
Tidak hanya itu, peningkatan suhu memperparah kondisi lapangan. Siti kadang kala merasakan sakit kepala imbas cuaca panas ekstrem.
“Asal terlalu panas, mulai sakit kepala,” katanya.
Sedangkan sebagian besar peralatan untuk menyemprot dan menebas hama, itu juga ditanggung sendiri oleh para buruh. Perusahaan hanya menyediakan tangki dan racun semprot.
“Ember-ember dari kito-lah. Parang kito jugo,” katanya.
Buruh muntah darah
Ibu tiga anak ini paham betul risiko menggunakan herbisida tanpa alat pengaman. Makannya kerja dengan hati-hati. Harus melihat arah angin ketika menyemprot.
“Saya belum pernah kena mata. Kawan ada yang kena, karena melawan arah angin,” katanya.
Tidak hanya nyaris buta, teman buruhnya yang baru kerja, tak memahami kondisi lapangan, menyemprot melawan arah angin. Maka banyak racun yang terhirup dan sempat muntah darah.
“Ada yang masih baru kerja, muntah darah dia. Mungkin karena melawan angin dan terhirup racun,” ujarnya.
Dengan adanya persoalan buruh, Tina (44) menuturkan pihak perusahaan sempat berjanji untuk membuat klinik di sekitar area kerja. Namun, sampai sekarang itu belum terwujud.
“Katanya itu sudah diusulkan ke atasan (pimpinan perusahaan). Kemarin itu ada usulan, klinik untuk karyawan, berharap itu jadi,” ujarnya.
Ia pun berharap perusahaan memperhatikan kesehatan para buruh dan tidak menetapkan jam kerja yang berlebih tanpa istirahat yang cukup.
“Jam kerjanya itu jangan terlalu lama. Bolehlah kita istirahat,” katanya berharap.
Baginya bekerja di musim kemarau sangat menyiksa buruh, terutama perempuan. “Kemarau sebulan itu rasa setahun,” katanya.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, tercatat 186 perusahaan sawit menguasai lahan sekitar 550.000 hektar. Dengan jumlah itu, jika diasumsikan satu hektar satu buruh, maka jumlah buruh sawit perempuan mencapai 550.000 jiwa.
Buruh perempuan terabaikan
Direktur Beranda Perempuan, Ida Zubaida menuturkan tanpa harus mengalami dampak buruk dari krisis iklim, nasib buruh perempuan di kebun sawit, sudah sangat menderita.
Undang-undang ketenagakerjaan sambung Ida belum melindungi hak-hak buruh perempuan. Pemerintah dan perusahaan bahkan mengabaikan kebutuhan mereka seperti upah layak.
Hasil temuan Beranda Perempuan, lebih dari 90 persen buruh perempuan menerima upah di bawah upah minimum provinsi (UMP). Dalam bekerja mereka tak dibekali alat pelindung diri untuk keselamatan dan kesehatan kerja.
Buruh perempuan ketika bekerja senantiasa terpapar bahan kimia dari pupuk dan pestisida. Bahan kimia berbahaya dan beracun yang terakumulasi dalam tubuh, bisa mengakibatkan gangguan kesehatan dan kematian.
“Kalau buruh perempuan sedang cuti hamil, mereka tak mendapatkan penghasilan. Buruh harian lepas itu dibayar kalau kerja. Bahkan yang sudah bekerja di atas 1 tahun pun, tak pernah dijadikan karyawan,” kata Ida.
Satu dekade terakhir, buruh sawit perempuan bekerja di luar ruangan dengan panas yang terik. Banyak di antara mereka pingsan, mimisan dan mengalami gangguan reproduksi seperti gatal-gatal pada bagian kemaluan.
Krisis iklim membuat sumber air menghilang. Hilangnya air di tempat kerja, sebagian perempuan terpaksa menahan kencing. Dalam waktu lama akan terserang ginjal.
MP mantan buruh sawit perempuan, yang kini berusia 55 tahun sudah tiga kali operasi ginjal. Selama bekerja di kebun sawit, dia kerap menahan kencing, karena terbatasnya air.
Penelitian Beranda Perempuan mengungkap jika satu keluarga buruh sawit mengalami penyakit paru-paru kronis. Batuknya tak mau sembuh. Saat kebakaran tahun lalu, ia terpapar kabut asap. Hasil pemeriksaan dokter mengalami infeksi saluran pernapasan akut.
“Sudah lebih setahun, satu keluarga paru-parunya rusak, karena paparan asap saat kebakaran,” kata Ida.
Setelah berbulan-bulan tak bekerja karena sakit, mereka dipecat. Perusahaan tak memberi uang untuk pengobatan. Mereka dengan biaya sendiri membeli obat paru-paru dan oksigen.
“Mereka berharap ada bantuan dari pemerintah, untuk mengakses pengobatan gratis,” kata Ida.
Tidak hanya buruh perempuan yang terdampak asap, melainkan anak-anak yang menderita infeksi saluran pernapasan akut.
Krisis iklim telah mengeringkan sumber air di lahan gambut, kemudian terjadi kebakaran. Jika api tak segera padam, maka warga yang terhirup asap akan mengalami gangguan kesehatan, termasuk buruh.
Dosen Hukum Universitas Airlangga, Jani Purnwanty mengatakan buruh informal bekerja di luar ruangan mendapatkan tekanan berat di tengah krisis iklim. Mereka mengalami dampak berlapis.
Buruh butuh aturan khusus
Peneliti krisis iklim dan ketenagakerjaan, penerima hibah Impact Seed Funding dari Pulitzer Center, menegaskan pekerja formal terkadang tak terlindungi undang-undang, apalagi pekerja informal semakin tak terjangkau.
Tidak ada aturan khusus untuk melindungi buruh perempuan, yang menjaga mereka dari gangguan kesehatan karena krisis iklim. “Tidak ada aturan khusus untuk mengatasi climate change,” kata Jani.
Sebenarnya aturan keselamatan kerja bisa melindungi pekerja dari krisis iklim. Masalahnya itu untuk pekerja formal, sementara buruh perempuan ini bukan karyawan.
“Ketika sinar matahari semakin panas, kerja buruh perempuan semakin rentan dan jadi korban berkali-kali,” kata Jani.
Buruh perempuan yang bekerja di kebun sawit tak memiliki pilihan. Mereka tak mendapatkan informasi, jika bekerja di luar ruangan dengan kondisi panas menyengat dalam waktu yang lama, akan berdampak buruk bagi kesehatan.
Mereka harus mendapatkan perlakukan khusus. Perusahaan sawit tak bisa produksi tanpa buruh. Artinya mereka ujung tombak perusahaan, tapi justru mendapatkan gaji paling kecil, rawan sakit dan lemah.
Dengan banyaknya kasus perempuan yang terdampak krisis iklim saat bekerja, Jason Kai Wei Lee, Director Heat Resilience and Performance Centre, National University of Singapore menuturkan pemerintah harus segera merumuskan kebijakan untuk melindungi buruh perempuan.
Ia mengatakan pemerintah Singapura telah memberlakukan undang-undang cuaca panas melalui peningkatan langkah-langkah bagi pekerja di luar ruangan, yang berlaku efektif pada bulan Oktober 2023.
Misalnya, pemberi kerja harus memantau Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) dan memberikan istirahat wajib ketika suhu melebihi 32 derajat celsius.
“Singapura ingin mengurangi penyakit yang berhubungan dengan panas dan memastikan lingkungan kerja yang lebih aman,” kata Jason dalam webinar Pulitzer Center terkait Too Hot To Work: Progress and Challenges in Heat Legislation for Worker Protection, Jumat (4/10/2024).
Menurut Jason stres panas berdampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja, karena mereka terpapar suhu harian yang lebih tinggi serta gelombang panas yang lebih sering dan parah.
Dalam jangka panjang, pekerja dapat terserang penyakit kronis yang serius dan melemahkan, yang berdampak pada sistem kardiovaskular dan pernapasan serta ginjal.
Tidak ada alasan perusahaan untuk menolak aturan istirahat pekerja luar ruangan saat panas. Hasil penelitian Jason, menunjukkan semakin banyak istirahat ketika cuaca panas, maka semakin produktif, dibanding harus bekerja sepanjang hari ketika panas.