Terjemahkan halaman dengan Google

Artikel Publication logo September 19, 2023

Sejumlah Pekerja Migran Jadi Korban Eksploitasi Diplomat

Penulis:
Inggris

For years, foreign diplomats have been getting away with exploiting their domestic workers.

author #1 image author #2 image
Berbagai penulis
SECTIONS

Cely Nunez, TKW asal Filipina yang dirampas haknya oleh diplomat majikannya. Foto oleh Michelle Abad. Filipina, 2023.

Sebuah investigasi internasional mengungkap ada pekerja-pekerja migran dieksploitasi oleh majikannya yang berlindung di balik kekebalan diplomatik. Salah satu korban mengatakan uangnya diambil majikan Rp1,3 miliar.


Lebih dari 200 pekerja migran yang jadi pembantu rumah tangga di 18 negara diduga menjadi korban perdagangan orang dan eksploitasi tenaga kerja, yang melibatkan para diplomat dan pegawai organisasi internasional. Demikian hasil investigasi global yang dipublikasikan jaringan media yang bermarkas di Filipina, Rappler, pada bulan Agustus.

Rappler memeriksa dokumen-dokumen sumber terbuka dari tahun 1988 hingga 2021, termasuk catatan pengadilan, berkas kasus LSM, laporan berita, dan jurnal hukum. Pelanggaran ini diduga melibatkan 160 diplomat, yang banyak di antaranya berhasil menghindari tuntutan hukum karena kekebalan diplomatik.


Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!


Pakar hukum internasional di lembaga nirlaba hukum yang bermarkas di Berlin, European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR), Ben Vanpeperstraete, mengatakan kepada DW bahwa temuan itu tidak mengejutkan. "Kemungkinan besar masih banyak lagi insiden yang tidak dilaporkan," ujar Vanpeperstraete.

Di bawah Konvensi Wina, para diplomat dan pegawai organisasi internasional diberikan tingkat kekebalan diplomatik, yang melindungi mereka dari tuntutan perdata dan pidana. Kekebalan diplomatik diperlukan untuk menjaga hubungan internasional yang baik. Namun, investigasi Rappler menunjukkan bahwa pekerja rumah tangga yang dipekerjakan oleh diplomat yang dilindungi oleh kekebalan tersebut hanya memiliki sedikit jalur hukum dalam kasus-kasus perdagangan orang dan eksploitasi.

Asisten rumah tangga (ART) sudah merupakan jenis pekerjaan yang berbahaya dengan tingkat pelecehan yang sangat berlebihan yang tidak dapat diterima dalam hubungan normal antara pekerja dan majikan. Menjadi pekerja rumah tangga migran yang dipekerjakan oleh seorang diplomat menambah tingkat keluhan lainnya.

Tujuh Negara Tujuan Favorit TKI

Sebanyak lebih dari 6 juta tenaga kerja Indonesia saat ini bekerja di 146 negara di seluruh dunia. Tujuh di antaranya adalah negara yang paling banyak mempekerjakan buruh asal Indonesia.

#1. Malaysia

Dari tahun ke tahun Malaysia menjadi tujuan utama tenaga kerja asal Indonesia. Menurut data BNP2TKI, sejak tahun 2012 sudah lebih dari setengah juta buruh migran melamar kerja di negeri jiran itu. Tidak heran jika remitansi asal Malaysia juga termasuk yang paling tinggi. Selama tahun 2015, TKI di Malaysia mengirimkan uang sebesar dua miliar Dollar AS kepada keluarga di Indonesia.

#2. Taiwan

Lebih dari 320.000 buruh Indonesia diterima kerja di Taiwan sejak tahun 2012. Lantaran Taiwan membatasi masa kerja buruh asing maksimal 3 tahun, kebanyakan TKI mendarat di sektor formal. Tahun lalu TKI Indonesia yang bekerja di Taiwan menghasilkan dana remitansi terbesar ketiga di dunia, yakni 821 juta Dollar AS.

#3. Arab Saudi

Sejak 2011 Indonesia berlakukan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Namun larangan itu cuma berlaku buat sektor informal seperti pembantu rumah tangga. Sementara untuk sektor formal, Indonesia masih mengrimkan sekitar 150 ribu tenaga kerja ke Arab Saudi sejak tahun 2012. Dana yang mereka bawa pulang adalah yang tertinggi, yakni sekitar 2,5 miliar Dollar AS tahun 2015

#4. Hong Kong

Sedikitnya 137 ribu TKI asal Indonesia diterima bekerja di Hongkong sejak 2012. Uang kiriman mereka pun termasuk yang paling besar, yakni sekitar 673,6 juta Dollar AS. Kendati bekerja di negara makmur dan modern, tidak sedikit TKI yang mengeluhkan buruknya kondisi kerja. Tahun 2014 silam ribuan TKW berunjuk rasa di Hong Kong setelah seorang buruh bernama Erwiana dianiaya oleh majikannya.

#5. Singapura

Menurut BNP2TKI, sebagian besar buruh Indonesia di Singapura bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Sejak 2012 sebanyak 130 ribu TKI telah ditempatkan di negeri pulau tersebut. Tahun 2015 saja tenaga kerja Indonesia di Singapura mengirimkan duit remitansi sebesar 275 juta Dollar AS ke tanah air.

#6. Uni Emirat Arab

Lebih dari 100 ribu tenaga kerja Indonesia ditempatkan di Uni Emirat Arab sejak tahun 2012. Dana remitansi yang mereka hasilkan pun tak sedikit, yakni 308 juta Dollar AS pada tahun 2015.

#7. Qatar

Lantaran moratorium, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah banyak menurun. Qatar yang tahun 2012 masih menerima lebih dari 20 ribu TKI, tahun 2015 jumlahnya cuma berkisar 2400 tenaga kerja. Sejak 2012 sedikitnya 46 ribu buruh Indonesia bekerja di negeri kecil di tepi Arab Saudi itu. Hampir 100 juta Dollar AS dibawa pulang oleh TKI Indonesia tahun 2015 silam.

Pelecehan apa saja yang pernah dialami oleh pekerja rumah tangga?

Cely Nunez adalah salah satu dari asisten rumah tangga, yang termasuk dalam laporan tersebut. Dalam laporan itu juga tertera kasus-kasus dugaan pencurian upah, pembayaran upah yang terlalu rendah, atau tidak menerima upah sama sekali.

Nunez telah menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai pekerja rumah tangga, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain di Asia dan Timur Tengah. Ia bekerja untuk seorang warga negara Oman selama lebih dari delapan tahun. Ia mengikuti majikannya dari Oman ke Berlin di mana sang majikan menduduki pos baru sebagai pejabat tinggi dinas luar negeri pada tahun 2018.

Sang ART membantu membesarkan keempat anak majikannya, bekerja lembur berjam-jam, bahkan di akhir pekan, sementara putrinya sendiri tumbuh tanpa dia. "Saya pernah menjadi sopir, asisten rumah tangga, semua itu jadi tugas saya," kata Nunez.

Gaji awalnya adalah €950 (Rp15,6 juta) per bulan, yang dibayarkan ke rekening banknya. Namun, tanpa menjelaskan alasannya, sang diplomat memintanya untuk mengembalikan €350 (Rp5,7 juta) dalam bentuk tunai setiap bulan. Ketika gajinya meningkat sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan Jerman, potongan tersebut juga meningkat. Pada saat dia mendapatkan €1.604 (Rp26 juta) pada Desember 2021, dia mengembalikan €654 (Rp10,7 juta) kepada diplomat tersebut.

Nunez mengatakan tidak ada kesempatan untuk berganti pekerjaan, karena tempat tinggal dan izin kerjanya terikat dengan majikan diplomatnya itu."Kami melakukannya karena kami berkorban untuk keluarga kami. Selama tidak terluka secara fisik, kami tidak akan menyerah," katanya.

Ban Ying, sebuah lembaga nirlaba Jerman yang telah menangani kasus-kasus pekerja rumah tangga migran yang dieksploitasi oleh para diplomat, menghitung bahwa gaji Nunez yang tidak dibayar dan lembur yang tidak dibayar mencapai €83.112 (Rp 1,37 miliar) selama tiga tahun. Namun, Nunez tidak dapat mengajukan kasusnya ungtuk diproses secara hukum. Polisi mengatakan kepadanya bahwa majikannya dilindungi oleh kekebalan diplomatik.

"Kita tidak bisa membiarkan kekebalan diplomatik menjadi pembelaan bagi mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan eksploitasi," kata anggota parlemen Filipina Arlene Brosas kepada DW.

"Kami menegaskan kembali posisi kami yang sudah lama menentang kebijakan pengiriman tenaga kerja. Kebijakan ini, yang memperlakukan pekerja Filipina sebagai komoditas ekspor, membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi," ujarnya.

"Sangat penting untuk memperkuat industri lokal yang dapat menyediakan pekerjaan tetap dengan upah layak di dalam negeri," tambah Brosas.

Pelajaran agar tidak terulang

Nunez berhasil meninggalkan majikannya dan sejak saat itu kembali ke Filipina. Dua tahun kemudian, ia masih merasa kesal karena gajinya yang hilang dan percaya bahwa diplomat seharusnya tidak memiliki kekebalan hukum. "Ini bukan hanya tentang saya. Ada begitu banyak orang lain," katanya.

Uang sebesar €83.000 (Rp1,37 miliar) yang hilang karena gajinya yang tidak dibayarkan, sebenarnya bisa membiayai banyak impiannya. Uang itu bisa membantu menyekolahkan anak perempuan dan saudara-saudaranya serta memungkinkannya untuk mewujudkan cita-citanya untuk memiliki bisnis sendiri. "Saya tidak takut dengan [mantan majikan saya]. Saya memperjuangkan hak-hak saya. Ketika menyangkut hak-hak kita, kita harus benar-benar memperjuangkannya," kata Nunez.

Meskipun keadilan sulit didapatkannya, Nunez terus menceritakan kisahnya dengan penuh keyakinan, untuk menyampaikan pesan bahwa hal ini tidak boleh terjadi pada pekerja migran lainnya.

Profesor di bidang gender dan pembangunan di London School of Economics, Sharmila Parmanand mengatakan kepada DW bahwa keputusan penting Mahkamah Agung Inggris, yang memutuskan bahwa pekerjaan di rumah tangga diplomatik tidak dilindungi oleh kekebalan hukum, seharusnya menjadi standar baru untuk mengevaluasi kasus-kasus perdagangan orang.

"Ada kebutuhan untuk membangun sebuah sistem yang mengalihkan beban untuk menjamin hak-hak pekerja dari individu pekerja dan menuju solusi yang lebih struktural," pungkas Parmanand.

RELATED TOPICS

Criminal Justice

Topic

Criminal Justice

Criminal Justice
Governance

Topic

Governance

Governance
teal halftone illustration of a family carrying luggage and walking

Topic

Migration and Refugees

Migration and Refugees
teal halftone illustration of a construction worker holding a helmet under their arm

Topic

Labor Rights

Labor Rights

RELATED INITIATIVES

teal halftone illustration of two hands shaking and a scale holding dollar bills

Initiative

Transparency and Governance

Transparency and Governance

Support our work

Your support ensures great journalism and education on underreported and systemic global issues