Puluhan ribu hektar kawasan hutan di Gane, Halmahera Selatan, Maluku Utara dikonversi menjadi perkebunan Sawit. Hingga 2021, Halmahera Selatan, sudah kehilangan 51.8 ribu hektar hutan primer basah, atau berkurang 8.5 persen. Daerah ini juga kehilangan tutupan pohon seluas 77 ribu hektar atau setara 108 lapangan sepak bola. Padahal kawasan hutan di Halmahera Selatan rata-rata merupakan hutan alami yang menjadi ruang hidup satwa endemik.
Jam dinding menunjukan pukul 06.20 pagi saat Wahid Umar (50) warga Desa Gane Dalam, Halmahera Selatan, Maluku Utara sibuk mempersiapkan peralatan untuk menyadap nira aren yang tumbuh liar di kawasan hutan yang berada di belakang desa. Tangannya terlihat cekatan mengasah pisau yang akan digunakan untuk memotong dan membersihkan tongkol bunga pohon aren. Tak butuh waktu lama bagi Wahid menyelesaikan pekerjaan itu.
Tepat pukul 07.00 Wahid sudah bergegas ke hutan. Ia mengajak dua anak laki-lakinya untuk membantunya mengambil kucuran air nira yang ditampung dalam bumbung (batang bambu yang panjangnya antara 1-1,5 meter). Sesekali ia juga mengajak istrinya. “Itu biasa saya lakukan. Kalau hari minggu, kami sekeluarga ada di hutan,” kata Wahid saat bercerita pada Barta pertengahan November 2022.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Pohon aren di Gane, Halmahera Selatan banyak tumbuh subur di kawasan hutan yang tak jauh dari perkampungan. Jaraknya mencapai 4 kilometer. Untuk mencapainya lokasi itu harus berjalan kaki dengan melewati beberapa bukit.
Bagi Wahid, jejeran pohon aren yang tumbuh liar di kawasan hutan belakang perkampungan itu adalah anugrah yang bisa dimanfaatkan untuk sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan dapur. Banyak warga desa di Gane Dalam yang sudah puluhan tahun memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak sedikit warga desa yang bahkan mengambil rotan, kayu dan madu. Semua itu tersedia dan mudah ditemukan di kawasan hutan wilayah Gane Timur. Semua komoditas itu menjadi buruan primadona lantaran memiliki nilai jual tinggi. Tak jarang beberapa warga ada yang sampai memilih menginap di hutan hanya untuk sekedar mendapatkan hasil lebih maksimal. Hutan sudah dianggap sebagai rumah kedua setelah perkampungan.
Namun belakang, kata Wahid, hasil dari pemanfaat hasil hutan tak lagi baik seperti puluhan tahun silam. Sadapan nira yang dihasilkan warga Gane dari kawasan hutan yang berada di belakang perkampungan bahkan pelan-pelan mulai berkurang. Semenjak kehadiran Sawit, dalam sehari, air sadapan (nira) yang dihasilkan warga hanya mencapai 5-10 liter per pohon. Biasanya, dalam kondisi hutan sehat, satu pohon aren bisa menghasilkan 15-20 liter.
“Tapi sekarang tidak lagi. banyak pohon aren yang mati dan tidak lagi subur,” kata Wahid.
Kawasan hutan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit di Halmahera Selatan sendiri sudah mencapai 11 ribu hektar yang meliputi wilayah Kecamatan Gane Dalam, Gane Timur Selatan, Gane Barat Selatan, dan Kecamatan Kepulauan Joronga atau berada pada wilayah Desa Yamli, Gane Luar hingga perbatasan Desa Sawat dan perbatasan Desa Pasipalele. Kawasan hutan yang dikonversi menjadi perkebunan sawit rata-rata merupakan hutan primer yang memiliki tutupan pohon dengan kategori rapat.
Pada 20 tahun lalu kawasan hutan di wilayah itu penuh dengan pohon-pohon dengan diameter besar. Pohon aren yang tumbuh liar membentang hingga ujung selatan Pulau Halmahera. Komoditas seperti rotan dan madu melimpah ruah. Namun, kini kawasan hutan di wilayah ini mulai menyusut.
Dari 2002 hingga 2021, Halmahera Selatan, Maluku Utara sudah kehilangan 51.8 ribu hektar hutan primer basah, atau berkurang 8.5 persen. Daerah ini juga kehilangan tutupan pohon sejak tahun 2001 hingga 2021 seluas 77 ribu hektar atau setara 108 lapangan sepak bola. Padahal kawasan hutan di Halmahera Selatan rata-rata merupakan hutan alami dengan luas 750 ribu hektar dan sering menjadi ruang hidup satwa endemik. (Visualisasi Data Hutan Halmahera)
Syafrudin, tokoh masyarakat Gane, Halmahera Selatan mengatakan, puluhan tahun lalu, kawasan hutan di wilayah Gane tergolong yang paling lebat dan hijau di daratan Halmahera. Banyak pohon dengan diameter besar berdiri kokoh. Rotan dengan mudah dapat ditemukan. Hutan Gane bahkan nyaris tak pernah disentuh dan dirusak. Warga menjaganya lantaran banyak yang bergantung hidup dari hasil komoditas di kawasan hutan.
“Tapi sekarang sudah tidak lagi. Hutan sudah habis dibabat dan jadi perkebunan sawit,”kata Syafrudin dengan ekspresi jelek.
Saat ini untuk menemukan hutan primer dengan tutupan pohon yang rapat dan luas di wilayah Gane, Halmahera Selatan sudah sangatlah sulit. Puluhan ribu hektar kawasan hutan sudah berubah menjadi perkebunan sawit. Hutan yang tersisa nyaris hanya hutan mangrove yang berada di pesisir pantai dan sebagian lainnya berada di Tanjung Rotan yang berada di selatan dari perkampungan.
Belakangan hutan yang tersisa di Tanjung Rotan itu pun bakal dibuka untuk blok perkebunan Sawit baru. Meski mayoritas warga di tiga Kecamatan di Gane Timur Selatan, Gane Barat Selatan dan Pulau Joronga sudah menolak, namun rencana itu masih berjalan. “Kalau hutan di Tanjung Rotan ini ikut dibuka, maka habis sudah,” ujar Syafrudin.
Muhammad Julham, Staf Pengajar Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Nuku Tidore mengatakan, secara geografis kawasan hutan Gane, Halmahera Selatan memegang peran paling strategis dalam menjaga keseimbangan keragaman hayati di Pulau Halmahera lantaran merupakan titik kumpul puluhan satwa burung serangga. Tutupan pohon yang rapat dan tinggi membuat banyak satwa endemik Halmahera hidup dan tinggal di kawasan hutan tersebut.
Karenanya kehadiran sawit bagi hutan Halmahera tentu akan mempercepat laju deforestasi dan hilangnya tutupan vegetasi. Perkebunan sawit bisa menyebabkan polusi udara, dan hilangnya degradasi lanskap hutan, serta penurunan kualitas air. Pembukaan hutan untuk kepentingan perkebunan sawit juga memicu hilangnya keanekaragaman hayati dan satwa liar. Lebih parah adalah menyebabkan terjadinya kerawanan pangan. Lahan hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan sawit akan menyebabkan lahan mengalami penurunan produktivitas, dan akhirnya tanah tak lagi subur untuk pertanian.
”Seharusnya pemerintah sudah memikirkan dampak itu. Apalagi mayoritas masyarakat Gane bekerja sebagai petani dan nelayan,”kata Julham.
Dalam laporan Walhi, Rainforest Action Network (RAN), Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo, kawasan hutan di wilayah Gane, Halmahera Selatan, pada beberapa titik sebenarnya memiliki tingkat lereng curam. Blok Utara (Tawa-Pasipalele) misalnya, sebagian besar kawasannya memiliki tingkat kemiringan lereng curang lebih dari 20 derajat, sehingga sangat tidak cocok untuk ditanami sawit. Penebangan pohon di kawasan hutan ini justru berpotensi bisa menyebabkan erosi dengan intensitas tinggi.
Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Halmahera Selatan 2021-2026, kawasan hutan yang semakin ke dalam dan jauh dari pantai maka kebanyakan maka kebanyakan lahan memiliki topografi berbukit-bukit. Sedikitnya 95 ribu hektar atau 11,80 persen lahan di Halmahera Selatan memiliki tingkat kecuraman hingga 15-40 derajat.
Menurut Thamrin Imam, Kepala Badan Perencanan dan Penelitian Daerah Halmahera Selatan, kondisi kehutanan di Halmahera Selatan secara umum masih relatif cukup baik. Meski ada kecenderungan menurun akibat kegiatan di sektor kehutanan, pertambangan, tetapi belum berdampak buruk.
Meski demikian, permasalahan seperti kualitas lingkungan di Halmahera Selatan diakui cenderung mengalami degradasi. Beberapa keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna juga semakin berkurang. Namun kondisi tersebut masih dapat dikendalikan.
“Karena itu pada rencana pembangunan sektor kehutanan, kami mengarahkannya untuk produksi. Selain itu, masyarakat juga sedang didorong membudidayakan tanaman kayu melalui hutan tanaman rakyat (HTR). Proses izinnya sendiri sudah berjalan,”kata Thamrin kepada Barta beberapa waktu lalu.
Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di Gane, Halmahera Selatan, Maluku Utara, sendiri dimulai, dari pemberian ijin pelepasan kawasan hutan produksi yang dikeluarkan Menteri Kehutanan pada 29 Januari 2009. Pada periode ini pemerintah memberikan lampu hijau untuk membuka perkebunan sawit pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 11 ribu hektar atau setara dua kali luas Pulau Ternate.
Sedikitnya 8 ribu hektar yang meliputi kecamatan Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan dan Kepulauan Joronga sudah memperoleh hak guna usaha atas tanah. Dari luasan itu, telah membuka lahan pembibitan seluas 1.500 hektar.
Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba sendiri, mengungkapkan, pemberian ijin pelepasan kawasan hutan untuk lahan perkebunan sawit di Halmahera Selatan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perijinan itu pun dikeluarkan setelah pemerintah mendapatkan kajian secara menyeluruh terutama dari aspek lingkungan.
Pemerintah memberikan perhatian serius terhadap iklim investasi, termasuk investasi di sektor perkebunan termasuk perhatian terhadap luasan hutan yang dikonversi untuk perkebunan sawit.
“Kami akan awasi terus. Tetapi saya meminta untuk mendukung investasi yang masuk di Maluku Utara. Apalagi perusahaan sawit di Halmahera selatan bisa menyerap 1800 tenaga kerja. Ini tentu baik untuk daerah,”kata Abdul Gani.