Terjemahkan halaman dengan Google

Artikel Publication logo Juli 1, 2022

Tangkal Api di Daerah Penyangga Taman Nasional Way Kambas

Negara:

Penulis:
A man cuts down a tree.
Inggris

Communities work to regrow the forest by planting trees. Some efforts paid off, but challenges...

author #1 image author #2 image
Berbagai penulis
SECTIONS
Arum is one of the people of Dusun Tanjung Tirto, Bungur Village who is participating in forest restoration efforts together with the Auriga Foundation.
Arum is one of the people of Dusun Tanjung Tirto, Bungur Village who is participating in forest restoration efforts together with the Auriga Foundation. Image by Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia. Indonesia, 2022.
  • Taman Nasional Way Kambas dikelilingi 38 desa penyangga, hingga akses keluar masuk kawasan ini sangat mudah. Ancaman perburuan dan pembalakan liar pun terus terjadi sampai saat ini. Kebakaran hutan pun terjadi dampak dari perburuan satwa masif ini.
  • Data Balai TN Way Kambas pada 2021, dalam 10 tahun terakhir terdapat 22 kasus kematian gajah karena diburu untuk gading dan giginya. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa endemik terancam punah. Habitat alami mereka, antara lain di taman nasional ini.
  • Masyarakat berperan penting ikut menjaga kawasan, antara lain yang dilakukan masyarakat beberapa desa di sekitar Taman Nasional Way Kambas. Mereka jadi mitra TN Way Kambas, dengan aksi menanam, merawat pepohonan sampai menjaga wilayah dari ancaman kebakaran.
  • Danang Wibowo, Koordinator Reforestasi, Sosial, dan Wisata ALeRT, mengatakan, masyarakat garda terdepan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan restorasi hutan di sekitar kawasan taman nasional.

Pucuk pohon kecoklatan tampak mencolok di sekitar kawasan restorasi Rawa Kadut, Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Ini tumbuhan mentru atau puspa ini, pohon endemik yang tahan api. Kalau terbakar, batang di atas tanah akan menghitam, tetapi akar masih bertahan dan menumbuhkan cabang baru.

Masih lekat di ingatan Arum Mustazin, bagaimana kebakaran melahap tanaman pada 2015. Pohon mentru, sungkai, laban, jambon air, ketapang, gaharu, sempu dengan usia baru tujuh bulan habis dilalap api. Tinggi mereka kala itu masih bersaing dengan ilalang dan tanaman jenis melastoma atau senggani, sekitar 30-50 cm.

Arum adalah warga Desa Bungur, Way Bungur, Lampung Timur, Lampung, yang bekerja dengan Yayasan Silvagama–kini Yayasan Auriga Nusantara pada area restorasi di Rawa Kadut, Taman Nasional (TN) Way Kambas. Kala itu, Silvagama masih tergabung dalam konsorsium Aliansi Lestari Rimba Terpadu (AleRT) untuk melakukan reforestasi.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


“Waktu itu ilalang masih tinggi, siang-siang ada api dari timur yang tidak bisa kita tahan. Habis sudah,” kata Arum menceritakan kembali peristiwa itu kepada kami pertengahan November 2021.

Api muncul karena orang tak bertanggung jawab berburu. Kemarau membuat lompatan api makin tak terkendali. Tahun itu, Arum dan tim mendapatkan pekerjaan tambahan menjaga kawasan, memadamkan api saat kebakaran dan menahan agar api agar tak meluas, selain penanaman pohon.

Setelah itu, mereka berupaya menghalau kebakaran yang meluas dan menjaga area restorasi dengan membuat sekat bakar lebar 30 meter. Kini monitoring dan pemadaman api menjadi bagian dari pekerjaan restorasi di wilayah seluas 1.250 hektar, bentuk kerja sama terbaru Yayasan Auriga dengan Balai TN Way Kambas sampai 2025.

Kebakaran menjadi ancaman paling besar pada upaya konservasi di Taman Nasional Way Kambas. Hal ini karena perburuan liar masif. Membakar menjadi jalan termudah bagi pemburu karena pasca kebakaran tunas baru akan muncul, dan memancing satwa keluar.


Area restorasi di Rawa Kidang. Foto oleh Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia. Indonesia, 2022.

Tak hanya ancaman perburuan satwa, TN Way Kambas juga lokasi para pembalak kayu liar tahun 1990-an. Arum adalah eks pembalak liar sejak kelas dua SMP pada 2002. Dalam satu minggu dia bisa mendapat 1-2 kubik kayu untuk jajan, bayar sekolah, dan membantu ekonomi orangtua.

“Dulu, seperti kampung yang pindah ke dalam hutan, ramai,” katanya.

TN Way Kambas dikelilingi 38 desa penyangga, hingga akses keluar masuk kawasan ini sangat mudah. Ancaman perburuan dan pembalakan liar pun terus terjadi sampai saat ini.

Kuswandono, Kepala Balai TN Way Kambas mengatakan, kini pembalak liar sudah jarang, namun pemburu masih terus menghantui. Ancaman ini juga seringkali memunculkan titik-titik api di taman nasional.

Data Balai TN Way Kambas pada 2021, dalam 10 tahun terakhir terdapat 22 kasus kematian gajah karena diburu untuk gading dan giginya. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa endemik terancam punah. Habitat alami mereka, antara lain di taman nasional ini.

Satwa lain dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), dan tapir (Tapirus indicus) juga berhabitat di kawasan ini. Api jadi ancaman bagi keberlangsungan populasi dan kelestarian satwa ini.

Analisis Yayasan Auriga pakai data kebakaran hutan dan lahan 2015-2020 serta kawasan hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kebakaran di TN Way Kambas mencapai 58.901 hektar.

Kerentanan kebakaran hutan di TN Way Kambas tak lepas dari sejarah panjang kawasan ini. Sebelum menjadi taman nasional, kawasan ini merupakan lokasi hak pengusahaan hutan (HPH) serta pembalakan liar, kemudian jadi pemukiman dan lahan pertanian. Kini, 30% atau sekitar 37.000 hektar dari 125.000 hektar merupakan lahan kritis didominasi ilalang.

Upaya pemulihan hingga kini, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Gagasan rehabilitasi awalnya dilakukan karena ada kebakaran hebat pada 1997.

Basuki Budi Santoso, Koordinator Proyek Restorasi Auriga di Way Kambas mengatakan, restorasi jadi cara untuk menghambat perburuan liar. “Karena ada yang menjaga,” katanya.

Selain itu, pemulihan padang ilalang menjadi pepohonan setelah restorasi bisa mengembalikan satwa-satwa di taman nasional, seperti gajah, rusa, harimau dan lain-lain.

Upaya restorasi penting karena ruang habitat memadai bisa menyediakan pakan bagi satwa. Hal ini juga mengurangi konflik satwa dengan manusia karena satwa tak perlu ke pemukiman.

“Kami juga pernah melihat rusa dan harimau melintas di kawasan restorasi ini. Artinya, mereka merasa nyaman.”

Perjumpaan satwa turut dialami Hadi dan Nana, warga lokal juga staf Aliansi Lestari Rimba Terpadu (AleRT) yang sedang piket di area restorasi Bambangan.

“Semalam ada rombongan gajah tiba di area restorasi Bambangan. Sekitar 60-70 individu. Mereka menyebar di kanan dan kiri kamp,” kata Nana.

Beberapa gajah mendekat ke kamp dan mereka bertepuk tangan untuk menghalau gajah agar tak terlalu dekat. Pohon bambu dekat kamp pun patah dan sedikit roboh karena dilewati gajah.

Nana, warga Desa Braja Asri, Way Jepara, Lampung Timur, sudah delapan tahun bekerja dengan ALeRT. Selama itu, dia menyaksikan perubahan di sejumlah titik restorasi, termasuk Bambangan.

Dia lihat pertumbuhan pohon-pohon di Bambangan setinggi dua meter, dan terlalap api pada 2014. Kini, Bambangan sudah jadi hutan sekunder, dengan kanopi rapat.

“Dulu, melihat ke kejauhan, masih kelihatan. Sekarang nggak bisa (terhalang pohon).”

Sejak 2012, AleRT sebagai salah satu mitra Balai Taman Nasional Way Kambas merestorasi wilayah itu.

Mohammad Lukman, polisi hutan TNWK mengatakan, area ini dulu padang ilalang dan perjumpaan satwa sangat jarang.

Kini, pohon di Bambangan sudah lebih 10 meter dengan tegakan cukup rapat dan menjadi hutan sekunder. Luas sekitar 50 hektar.

“Tahun 2021, sudah terlihat seperti hutan, suara satwa banyak. Burung, siamang, gajah dan harimau.”


Area restorasi di Bambangan, Taman Nasional Way Kambas. Foto oleh Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia. Indonesia, 2022.

Libatkan masyarakat

Basuki bilang, pelibatan masyarakat lokal menjadi bagian penting dalam upaya restorasi. “Kegiatan ini harus secara integral dengan melibatkan masyarakat agar tercapai hutan lestari yang menyejahterakan masyarakat.”

Untuk itu, katanya, perlu meningkatkan kesadaran masyarakat lewat sumber ekonomi dari hasil hutan non-hutan, seperti penanaman bibit atau pengembangan wisata edukasi.

Pada 2019, Balai TN Way Kambas menawarkan kemitraan konservasi kepada masyarakat. Salah satunya, melestarikan kembali area Rawa Kidang. Lokasi ini rentan terbakar karena berbatasan langsung dengan perkampungan dan surga bagi pemburu.

Di sini banyak ditemui binatang seperti kijang, menjangan dan lain-lain. Program ini disambut baik Hadi, warga Desa Labuhan Ratu VII dan teman-temannya.

“Tahun 2019 terjadi kebakaran hebat, asap dan latu (sisa kebakaran) itu terbang-terbang. Mengganggu. Kebakaran ya sampai pinggir desa.”

Di tengah asap kebakaran, muncul usulan membuat kelompok kerja tani dan menanam di hutan. Kegelisahan Hadi dan masyarakat Desa Labuhan Ratu VII disambut baik balai sampai mereka mendapatkan perizinan untuk rehabilitasi di Rawa Kidang.

Januari 2020, mereka membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Rahayu Jaya dan memiliki perizinan melalui penandatangan perjanjian kerjasama (PKS) kemitraan konservasi selama lima tahun.

Hadi cerita, pernah jadi pemburu satwa di taman nasional awal 2000-an. Namun dia sadar, membakar dan memburu adalah perbuatan salah.

“Hanya iseng karena banyak teman di kampung juga melakukan, dulu juga pakai anjing pemangsa,” katanya.

Atas izin kemitraan konservasi, bersama anggota lain, Hadi melakukan pembibitan dan penanaman dengan jenis endemik. Sejak 2020, mereka rehabilitasi di Rawa Kidang dengan target 50 hektar dari 150 hektar wilayah kelola.

Bersama 19 anggota lain, Rawa Kidang dijaga untuk patroli kebakaran, pembibitan dan penanaman pohon. Sampai saat ini, KTH Rahayu sudah menanam 65.000 bibit dengan anggota ada 56 orang.

“Tantangan itu saat perawatan banyak satwa yang memakan dan dicabut saat awal-awal menanam. Biasanya, saat musim babi, semua diangkat hingga ke akar-akarnya untuk mencari cacing,” kata Hadi.


Arum, salah satu masyarakat Dusun Tanjung Tirto, Desa Bungur yang ikut dalam upaya restorasi hutan bersama dengan Yayasan Auriga. Foto oleh Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia. Indonesia, 2022.

Tak hanya menanam pohon, masyarakat pun melakukan usaha non-kehutanan lain di daerah penyangga, seperti peternakan lebah, pembibitan, budidaya sapi, perikanan, peternakan bebek, fermentasi pakan, dan lain-lain.

“Dari segi kesejahteraan ekonomi memang belum begitu terasa karena usaha ini kan baru. Harapannya, bisa menjadi alternatif pendapatan dan bisa mengajak masyarakat tetap menjaga hutan,” kata Hadi.

Selain KTH Rahayu Jaya, ada KTH Wana Bhakti di Desa Rantau Jaya Udik II, Lampung Timur. KTH ini digagas Paulus Untoro. Setelah 30 tahun bekerja sebagai polisi hutan TN Way Kambas, kini dia mengajak masyarakat sekitar desa menanam pohon dan menjaga kawasan taman nasional dari api.

Api momok di taman nasional. Biasa api mulai pada April dan puncak antara Oktober dan November. “Kalau sudah di bulan itu, susah madaminnya,” kata Untoro.

Ketika masih bertugas sebagai polisi hutan (polhut), tantangan yang dihadapi seperti sumber air jauh, apalagi kebakaran terjadi saat musim kemarau. Anggota pemadam api pun kadang harus keluar ke desa terdekat atau pabrik singkong untuk melangsir air.

“Kadang api (tinggi) tinggal dua mater, lalu ditinggal keluar karena air habis, malah jadi meluas lagi,” kenang Untoro.

Antara desa penyangga dan taman nasional, kata Untoro, sebenarnya sudah ada kanal pembatas. Ini untuk membatasi akses terutama bagi orang-orang yang ingin ngarit atau berburu satwa. Namun masih ada “oknum” yang membuat masuk.

Salah satu tugas Untoro dulu dengan mitra konservasi adalah memutus akses ini. Bukan pekerjaan mudah. “Pernah beberapa kali, hari ini jembatan kita potong pakai chainsaw, besok siang sudah bagus lagi.”

Dia bercita-cita ingin menurunkan angka perburuan liar di desanya. Dia pun mengajak mantan pemburu bergabung di KTH Wana Bhakti. “Di kelompok saya ini ada lima hingga enam orang yang mantan (pemburu). Saya ingin yang mantan-mantan itu direkrut agar ada rasa memiliki.”

Untuk perburuan, katanya, di Desa Rantau Jaya Udik II khusus Dusun IV sudah berhenti 100%. “Tetapi masih ada beberapa di dusun lain.”

Untoro dan anggota rajin pelatihan untuk peningkatan ekonomi seperti budidaya lebah dan peternakan. KTH Wana Bhakti juga berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat agar tak melakukan aktivitas ilegal, seperti berburu dan merambah kayu di dalam hutan.

Berbagai sumber ekonomi di dalam atau sekitar hutan penting karena masyarakat harus lebih dulu berdaya, punya sumber pencaharian lain agar tak merambah hutan.

Mei lalu, KTH Wana Bhakti menandatangani perjanjian kerja sama kemitraan konservasi dengan Balai Taman Nasional Way Kambas. Mereka kini dapat bisa lanjut merestorasi seperti menanam pohon di Susukan Baru, seluas 50 hektar. Kemudian, 100 hektar untuk bagian penjagaan kebakaran.

Rusdiyanto, penyuluh kehutanan TN Way Kambas, menerangkan KTH Rahayu Jaya terbentuk karena permohonan masyarakat Labuhan Ratu VII. Mereka prihatin kebakaran hutan di TNWK.

“Sebagai zona penyangga, masyarakat sangat merasakan dampak saat kebakaran.”

Pada program rehabilitasi ini dilakukan penanaman pakan badak berupa 61 jenis tumbuhan. “Harapannya, selain memulihkan kondisi hutan juga lumbung atau pencanangan pakan badak,” kata Rusdiyanto.

Dia bilang, masyarakat harus mematuhi prasyarat tertentu semacam Pakta Integritas. Ia berisi empat persyaratan untuk tetap melanjutkan restorasi di taman nasional.

Pertama, masyarakat harus ikut membantu upaya pemadaman api kalau terjadi kebakaran. Kedua, ikut dalam menangani konflik gajah, seperti menghalau satwa dari area restorasi. Ketiga, anggota kelompok tak boleh memiliki satwa dilindungi, termasuk burung.

Keempat, yang menjadi mitra tak boleh melanggar seperti berburu atau aktivitas ilegal lain di Way Kambas.

“Semua syarat ini harus diikuti jika ingin kemitraan konservasi berlanjut.”

Tantangan utama, katanya, menjaga semangat kelompok dan meyakinkan program ini memiliki manfaat bagi masyarakat dan taman nasional.

Danang Wibowo, Koordinator Reforestasi, Sosial, dan Wisata ALeRT, mengatakan, masyarakat garda terdepan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan restorasi hutan di sekitar kawasan taman nasional.

“Ketika masyarakat sudah tahu kebakaran itu merusak, itu hal baik. Kita juga harus memikirkan apakah kebutuhan ekonomi mereka tercukupi? Jika ekonomi stabil, mereka tak akan banyak melakukan pelanggaran di taman nasional,” kata Danang.


Bambu roboh karena dilewati kawanan gajah di area restorasi. Foto oleh Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia. Indonesia, 2022.

RELATED CONTENT

RELATED TOPICS

yellow halftone illustration of an elephant

Topic

Environment and Climate Change

Environment and Climate Change
a yellow halftone illustration of a truck holding logs

Topic

Rainforests

Rainforests

Support our work

Your support ensures great journalism and education on underreported and systemic global issues