PEKANBARU — Bumi Lancang Kuning menjadi sebutan provinsi Riau yang saat ini didaulat sebagai provinsi dengan kebun kelapa sawit terluas se-Nusantara. Berdasarkan data dari Kementrian Pertanian RI, luasan kebun kelapa sawit di Riau mencapai 3,38 juta hektare. Luasan itu sekitar 20,68% dari total kebun kelapa sawit yang ada di Indonesia yakni 16,38 juta hektare.
Namun sayangnya berdasarkan data yang dijabarkan Green Peace, ada sekitar 1.231.614 hektare kebun kelapa yang ada di Riau masuk dalam kawasan hutan. Jumlah ini kemudian disusul oleh provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) yang menduduki posisi kedua dengan luasan 817.693 hektare.
Bicara soal kawasan hutan, Kementrian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa secara nasional ada 3,37 juta hektare kebun kelapa sawit di Indonesia berada dalam kawasan hutan. Ini terbagi atas 1.497.421 hektare berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), 1.128.854 hektare di kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), 501.572 hektare berada di Hutan Produksi Tetap, 155.119 hektar berada di Hutan Lindung dan 91.074 hektar berada di Hutan Konservasi.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Untuk mengurai permasalahan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan ini, pemerintah sebelumnya telah melahirkan Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2020 atau yang familiar dengan sebutan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Skema penyelesainnya yakni dengan pasal 110A dan 110B yang ditargetkan penyelesaian hingga 2 November 2023 lalu.
Pasal 110A adalah perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, mempunyai izin usaha perkebunan, dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan, namun statusnya saat ini berada pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.
Sementara, Pasal 110B mengatur mengenai penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.
Sekjen KLHK Bambang Hendroyono menjelaskan jumlah total kebun kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan yakni 3,37 juta hektar adalah angka hasil pendataan sejak 2019. Kemudian baru diidentifikasi oleh KLHK mengenai status kawasan hutannya. Apakah hutan konservasi, hutan lindung atau hutan produksi.
"Saat itu melihat kawasan hutan ini dari citra. Mungkin kan di sini kalau sawitnya rapih itu swasta yang punya, sawitnya berantakan itu masyarakat yang punya. Nah angka 3,37 juta itu lah yang akhirnya dibawa ke UU CK untuk diselesaikan," ujarnya.
Lanjut Bambang, saat ini angka 3,37 itu dapat dibagi ternyata bukan hanya pelaku usaha swasta saja namun juga ada dari BUMN. Kemudian juga terdapat koperasi dan masyarakat.
"Saat ini dari 3,37 tim sudah dapat mengedepankan penyelesaian lewat pasal 110 A dimana angka yang kita dapat yakni 1,67 juta hektar. Akhirnya kami bisa kejar dari 1,67 yang 110A itu berapa, karena kita sudah tahu dia dari kerja sama dengan sistem informasi perkebunan kemudian juga dengan BPKP, ATR/BPN, Pemda, itu atas dasar permohonan itu kami bisa mengidentifikasi," paparnya.
Bambang juga tak menampik bahwa jumlah permohonan itu akan bertambah bahkan mendekati 2 juta hektar. Sementara sisa luasan lahan tadi terindikasi ada sawit yang dikelola oleh masyarakat. Baik itu dari koperasi bahkan kebun plasma.
Sebetulnya lanjut Bambang, pada prinsipnya pemerintah ingin produktivitas sawit dikedepankan untuk kesejahteraan. Langkah ini juga agar ada percepatan legalitas dari pelaku usaha kebun kelapa sawit. "Kalau mereka ada di 110 A itu, mereka dalam posisi yang benar, ruang yang benar pada saat itu. Tapi di tata ruang masuk lagi ke kawasan hutan yah kita lepaskan biar dia jalan dan bisa besar. Itulah yang kita inginkan. Sebaliknya yang mereka kerjakan ternyata juga keluar dari legalitas yang diberikan atau bahkan enggak punya izin tau-tau kerja sawit, itulah yang kena denda admisntrasi 110B," tandasnya.
Disamping itu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menilai mekanisme penyelesaian perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan justru terlampau menyederhanakan persoalan dan sangat menguntungkan perusahaan.
Menurut Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan Walhi Riau, Umi Ma'rufah mengatakan ketentuan Pasal 110A yang menjadikan izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan sebagai dasar tindak lanjut penerbitan perizinan sektor kehutanan tentu abai pada kewajiban perusahaan untuk mempunyai hak atas tanah dalam melakukan aktivitas perkebunan.
Kemudian larangan penanaman sawit baru atau peremajaan pasca 2 November 2020 juga tidak diatur pada PP No. 24 Tahun 2021. Hal ini mempertegas posisi pemerintah melegalkan kejahatan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan melalui UUCK.
"Seharusnya pemerintah meninjau ulang kebijakan UUCK pasal 110A dan 110B terkait penyelesaian perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan. Jika kebijakan ini tetap dibiarkan, setidaknya Riau akan kehilangan 736.273,53 hektar kawasan hutan yang diberikan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kemudian implementasi kebijakan UUCK itu juga harus mempertimbangkan pelanggaran lain yang dilakukan oleh korporasi yang mengajukan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan,” kritiknya.
Sementara Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto mengaku tidak yakin jika kebijakan itu akan menjadi jalan bagi para petani untuk melegalkan kebun kelapa sawitnya. Sebab petani terbentur dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki. Sedangkan untuk perusahaan tentu regulasi ini manjadi 'aji mumpung' lantaran perusahaan memiliki uang untuk menyelesaikan sanksi dan bukti.
"Kalau petani pasti agak susah. Kemudian kita melihat ada gap besar, sebab aturan itu tidak sampai ke lini kabupaten dan hanya berhenti di provinsi. Kabupaten banyak tidak tau alur dan proses implementasi regulasi itu. Sementara anggaran untuk menyediakan data sawit rakyat dalam kawasan hutan juga tidak tersedia," terangnya.
Mudah Bagi Koorporasi, Rumit untuk Petani
Cerita pengajuan pelepasan kawasan hutan 'pengakuan dosa' di Riau, hingga 2 November 2023 lalu Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Riau mencatat ada 328 pengajuan pelepasan kawasan hutan. Pengajuan itu dilakukan baik oleh perusahaan maupun kelompok petani kelapa sawit.
Upaya pemerintah ini seperti memberikan angin segar bagi para perusahaan atau petani yang membudidayakan kelapa sawit dalam kawasan hutan. Sebab berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, pengajuan pelepasan kawasan hutan justru terbilang sangat tinggi.
Tahun 2021, tercatat hanya ada 16 pengajuan saja. Sedangkan untuk tahun 2022 ada sebayak 51 pengajuan. Artinya ada kenaikan sampai 6 kali lipat pada tahun ini dibanding tahun 2022 lalu.
Namun sayangnya, DPMPTSP Riau tidak dapat merinci data siapa-siapa saja yang melakukan pengajuan pelepasan hutan itu. Bahkan juga besaran luas lahannya.
"Kita hanya menerbitkan rekomendasi yang kemudian diteruskan ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk penerbitan izinnya. Sebab kita tidak ada mendapatkan tembusan terkait izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari KLHK," ujar Kepala DPMPTSP Helmi D.
Sementara salah satu perusahaan kelapa sawit yang diduga melakukan perambahan kawasan hutan adalah PT Palma Satu yang beroperasi di Kecamatan Batang Gansal Indragiri Hulu (Inhu). Dimana berdasarkan data Green Peace ada seluas 12.277 kebun kelapa sawit mereka berada dalam kawasan hutan.
Bukan hanya Palma Satu, setidaknya ada beberapa perusahaan lain yang juga bagian dari Darmex Group yang beroperasi di wilayah itu. Malah disinyalir seluruhnya melakukan perambahan hutan di wilayah Inhu tersebut. Seperti PT Banyu Bening Utama (BBU), PT Kencana Amal Tani (KAT), PT Palm Lestari Makmur (PLM), PT Seberida Subur dan PT Panca Agri Lestari (PAL).
Staf Humas PT Plama Satu, Arya Sitepu saat dikonfirmasi berkilah tidak mengetahui terkait pembangunan kebun dalam kawasan hutan tersebut. Menurutnya klaim kawasan hutan dalam kebun kelapa sawit PT Palma Satu itu belum pasti. Sebab belum ada keterangan yang jelas dari pihak KLHK.
"Belum bisa dipastikan itu dalam kawasan hutan. Kemarin memang ada Dinas LHK Riau melakukan survei di kebun kita," ujarnya. Survei yang dilakukan DLHK Riau itu kata Arya meliputi lima perusahaan Darmex Group di wilayah sekitar Desa Penyaguan di kecamatan Batang Gansal tersebut.
"Kalau gak salah ke lima PT," tuturnya.
Meski mengaku tidak mengetahui bahwa kebunnya itu masuk dalam kawasan hutan, namun Arya membenarkan bahwa pihaknya telah mengajukan pelepasan kawasan hutan di wilayah tersebut. Namun Ia mengaku tidak tahu menahu jumlah luasan kebun yang diajukan untuk pelepasan hutan dengan skema UUCK itu.
"Ada bagiannya sendiri untuk masalah perizinan. Jadi saya kurang Copy masalah itu," akunya.
Arya juga membenarkan bahwa setiap perusahaan yang beroperasi di wilayah Inhu itu memiliki jalan distribusi dan PKS masing-masing. Artinya hasil produksi kebun dalam kawasan hutan itu diolah langsung di pabrik perusahaan itu sendiri.
Sementara kelapa sawit dalam kawasan hutan juga tidak sedikit dimiliki oleh kelompok-kelompok petani kelapa sawit. Misalnya saja Koperasi Lubuk Indah yang berada di Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Indragiri Hulu (Inhu)
Ketua Koperasi Lubuk Indah, Haji Lahuddin mengatakan pihaknya saat ini juga tengah mengajukan pelepasan kawasan hutan untuk kebun koperasi tersebut. Kebun mereka sebagian besar masuk dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Sedikitnya ada 4.400 hektar kebun kelapa sawit yang diajukan untuk pelepasan kawasan hutan ini. Namun ceritanya, pengajuan ini sudah berulang kali diajukan, bahkan sejak tahun 1999 saat koperasi itu mulai berdiri.
"Kita sudah sampai bosan merasakan penolakan pelepasan kawasan hutan itu. Terakhir kali ajukan sebulan lalu karena kita melihat saat ini pemerintah tengah gencar untuk menyelesaikan masalah kebun kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan dengan UUCK," ujarnya pria yang berdomisili di Desa Lubuk Batu Tinggal itu.
Haji Udin begitu sapaan akrabnya, tidak menampik bahwa 4.400 hektar kebun kelapa sawit itu masuk dalam kawasan hutan. Dimana 1.400 hektar masuk dalam kawasan TNTN dan 3.000 lagi masuk dalam kawasan hutan tanaman industri (HTI).
"Yang 1.400 itu lahannya sudah bersertifikat hak milik, sementara yang 3.000 hektar baru sebagian saja," katanya.
Meski masuk dalam kawasan hutan, Haji Udin tidak setuju jika dirinya dan masyarakat lain dituduh merambah kawasan TNTN. Sebab lahan tersebut dahulunya adalah bekas peladangan yang dikelola oleh Inhutani. Kemudian kala itu masyarakat diajak kerjasama bahkan dianjurkan untuk berkebun kelapa sawit. Saat itu juga didukung oleh Dinas Perkebunan dan instansi pemerintahan lainnya.
"Kemudian di tahun 1999 sekitar 1.400 hektar lahan tersebut di sertifikatkan menjadi hak milik," ujarnya.
Selang waktu berjalan Inhutani kemudian diganti oleh TNTN pada tahun 2004. Sejak saat itulah kemudian muncul berbagai masalah dalam koperasi Lubuk Indah tersebut. Terlebih kebun yang menjadi tempat bergantung masyarakat justru masuk dalam kawasan zona merah.
"Tahun 2013 kita sempat diajak kembali oleh TNTN untuk bekerjasama dengan menanam buah-buahan di kebun kami itu. Namun kami merasa ditinggalkan saat anggaran yang kami setujui dicairkan pemerintah namun justru diserahkan kepada kontraktor bukan kepada petani. Memang besarannya kami tidak tahu, tapi kalau tidak salah itu untuk biaya budidaya selama tiga tahun. Bahkan itu terjadi sampai dua kali pencairan," paparnya.
Sejak ditetapkan menjadi zona merah itu lanjut Haji Udin, pihak terus mencari penyelesaian masalah. Yakni dengan kembali mengajukan pelepasan kawasan hutan. Namun hingga kini, sekitar 2.150 anggota hanya terus merasakan penolakan tanpa ada alasan dari pihak pemerintah.
Bahkan saat ini kebun tersebut juga tidak banyak yang dirawat oleh para pemiliknya. Sebab menurutnya petani sudah putus asa. Begitu juga dengan sistem koperasi yang seperti mati suri, tidak berjalan layaknya koperasi.
"Kami masyarakat itu tidak muluk-muluk, kami mau pemerintah itu hadir dan turun langsung di lokasi kebun untuk melihat kondisi kita. Kami juga siap jika kebun kami tersebut diambil dan dihutankan kembali untuk TNTN. Namun kita minta pemerintah menepati perjanjian yang sudah kita sepakati bersama sebelumnya, yakni untuk penggantian kebun itu. Kita mau dan siap kebun itu dipindahkan kemana saja," ujarnya.
Kata Haji Udin saat ini petani juga tengah dilema, lantaran Ia dengar desas desus bahwa kebunnya masyarakat hanya dapat dimanfaatkan hingga satu daur. Artinya tidak dapat kembali diremajakan kedepannya.
"Kami masyarakat ini hanya minta solusi, kalaupun kebun tidak diganti ya diinklapkan sesuai perjanjian yang ada. Jalur pemerintah sudah kita ikuti semua, tapi sampai sekarang gak ada penyelesaiannya.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspek-Pir) Indonesia, Setiyono mengatakan tidak sedikit juga kebun petani plasma perusahaan di Riau juga masuk dalam penunjukan kawasan hutan. Meski kebun tersebut telah dilengkapi dengan sertifikat kepemilikan kebun.
"Masih sangat banyak. Seperti petani plasma PTPN V, Asian Agri dan sebagainya," ujarnya.
Lantaran penunjukan itu, saat ini banyak juga petani yang tergabung dalam Aspek-Pir Indonesia berbondong-bondong mengajukan pelepasan kawasan dengan skema UUCK. Dari data sementara saja, saat ini ada sekitar 30 koperasi yang mengajukan. Dimana luasnya mencapai 7.000 hektar khusus di wilayah Riau. Sementara untuk nasional pihaknya mencatat ada sekitar 16.000 hektar.
"Kita masih kumpulkan data, kita juga mengimbau agar para petani anggota juta untuk segera melaporkan ke DPP Aspek-Pir agar kemudian kita ajukan bersama-sama," terangnya
Program ini merupakan program pemerintah maka seharusnya menurut Setiyono tidak sulit. Terlebih pihaknya notabenenya adalah asosiasi petani.
"Kemarin sempat disampaikan oleh KLHK bahwa petani hanya tinggal siapkan dokumen dan tidak akan dikenakan sanksi jika kebunnya di bawah 5 hektar. Kalau lebih kita juga belum tau bagaimana," paparnya.
Sejatinya Setiyono menyayangkan adanya menunjukkan kawasan hutan ini. Sebab petani sudah memiliki sertifikat tanah. Menurutnya ini adalah bukti tidak saling terkoneksinya antar lembaga pemerintahan.
"Sebetulnya petani saat ini kebingungan, mereka memiliki sertifikat dari BPN namun justru lahannya masuk dalam kawasan hutan sesuai penunjukan dari KLHK. Untuk itu kita minta ini diselesaikan bersama-sama," tandasnya.
Suryana salah seorang petani di Desa Penyaguan Inhu menilai, pelepasan kawasan hutan atau yang juga lebih akrab disebut pemutihan kawasan hutan hanya akan menguntungkan perusahaan saja. Jika pemerintah tidak memprioritaskan masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan.
"Pemutihan lewat UUCK, jika mengarah ke perusahaan tentu akan sangat merugikan masyarakat. Namun jika hak masyarakat diberikan maka akan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Ia berharap pemerintah tidak hanya berpihak terhadap perusahaan. Bahkan menurutnya masyarakat akan mendukung upaya pemutihan yang dilakukan jika lebih berat kepada masyarakat.
"Harapan masyarakat paling tidak seluruh intansi pemerintah proaktiflah dalam permasalahan ini. Kita menginginkan apapun upaya pemerintah itu memprioritaskan masyarakat yang dalam konflik," ujarnya.
Sebelas Duabelas Sengkarut Kebun Sawit Riau dan Kalbar
Bukan hanya di Riau, di Kalimantan Barat (Kalbar), berdasarkan data KLHK terdapat lebih dari 198 perusahaan sawit yang masuk dalam kawasan hutan dimana luasan yang masuk dalam kawasan hutan mencapai 88 ribu hektare.
Sementara sebelumnya, pemerintah Provinsi Kalbar mendata konsesi yang masuk kawasan hutan hanya 38 ribu hektare meliputi 23 konsesi perusahaan sawit. Areal yang paling banyak enclave adalah dengan Hutan Produksi yang mencapai lebih dari 13 ribu hektare.
Dari data konsesi perusahaan sawit yang masuk dalam kawasan hutan di Kalbar baik versi KLHK maupun Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat- terdapat nama perusahaan milik Salim Group; PT Riau Agrotama Plantation (RAP).
Perusahaan ini terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, diduga merambah ke kawasan hutan di Desa Bukit Penai, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar Perusahaan ini merupakan satu-satunya yang terindikasi masuk ke kawasan hutan Kapuas Hulu, dengan luasan 2,171 hektare.
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalbar Heronimus Hero, mengakui PT RAP merupakan salah satu perusahaan yang sudah mengajukan laporan terkait konsesi mereka yang dinyatakan masuk dalam kawasan hutan.
Semua perusahaan sawit yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan sudah menjalankan kewajibannya melakukan pelaporan atau klarifikasi kepada KLHK. Pemerintah daerah yang bantu memfasilitasi laporan tersebut.
“Ada perbedaan penggunaan basis peta untuk pendataan kawasan. Setelah kami cermati, peta dasar yang digunakan KLHK adalah peta izin lokasi perkebunan. Seharusnya, data untuk tumpangsusun peta kawasan dan peta kebun menggunakan peta Izin Usaha Perkebunan,” jelas Hero.
Laporan kepada kementerian pun telah dikirimkan, sebelum tenggat yang diberikan KLHK, yakni pada awal November 2023. “Hingga kini belum ada jawaban,” katanya.
Pada 2022 lalu, Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalbar, menyebutkan jumlah Izin Usaha Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat yang diterbitkan sebanyak 378 Perusahaan dengan luasan 3.321.731 hektare yang tersebar di 12 kabupaten-kota.
Selain PT RAP, ada 23 perusahaan lain yang terdata oleh Pemerintah Provinsi Kalbar masuk ke dalam kawasan hutan. Hasil analisis spasial menunjukkan adanya indikasi perizinan perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan berdasarkan sebanyak 23 perusahaan dengan luasan 38.616,98 hektar. Analisis ini adalah hasil tumpang susun peta konsesi dengan peta kawasan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor 733 Tahun 2014.
Sepengetahuan Kepala Desa Bukit Penai, Eko Budi Santoso, urusan kebun sudah mendapat titik tengah. “Sudah dimediasi,” ujarnya melalui pesan singkat.
Sepanjang tahun 2023, merupakan tahun yang cukup 'panas' bagi masyarakat Desa Bukit Penai, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dan PT Riau Agrotama Plantation (RAP). Pasalnya, konflik tenurial yang terjadi belum juga berakhir. Gejolak dimulai pada tahun 2021, saat warga menggugat pengambilalihan lahan seluas 537,5 hektare yang dilakukan perusahaan PT RAP.
“Perlawanan warga tersebut merupakan rentetan panjang dari kesewenang-wenangan pihak perusahan di wilayah Divisi II KSE. Kali ini warga sudah habis kesabaran setelah 20 tahun lahan mereka dijadikan hamparan kebun sawit tanpa alas hak,” ujar Eko pada aksinya penyegelan lahan tahun 2021 lalu.
Lahan itu adalah milik warga transmigrasi, yang meliputi tanah kas desa seluas e22,5 hektare, fasilitas umum 10 hektare, pusat desa 10 hektare, lahan gembala 20 hektare dan lahan pencadangan 475 hektare.
Tawaran sudah dilayangkan agar melepaskan lahan masyarakat Desa Bukit Penai masing-masing 1,5 hektare per kepala keluarga, dengan total 206 kepala keluara atau 371,5 hektar, beserta lahan kas desa seluas 62,5 hektar. Sedangkan sisanya boleh digarap pihak perusahaan. Akan tetapi tuntutan itu tidak dipenuhi sampai batas waktu yang diminta yakni 16 Oktober 2021, padahal lahan mereka sudah digarap sejak tahun 2020.
Di tahun 2023, hal tersebut berulang kembali. Warga kembali menggugat perusahaan. Kali ini Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu turun tangan. Tidak adanya itikad baik dari perusahaan untuk menghadiri pertemuan yang difasilitasi Pemkab Kapuas Hulu serta Tim Pembina Pembangunan Perkebunan Kabupaten (TP3K) sehingga diputuskan penutupan sementara operasi perusahaan hingga 31 Januari 2023. Hingga Februari 2023, upaya mediasi masih mentok. Baru pada bulan Mei 2023, masih difasilitasi pemerintah pihak perusahaan menandatangi kesepakatan mengenai pengambilalihan lahan dan pemagaran lahan inti perusahaan. Jika ditarik lebih panjang, sengketa perusahaan sudah terjadi sejak tahun 2012 silam.
Persoalan dipantik setelah petani plasma PT RAP meminta kejelasan status lahan kebun seluas 5.155 hektare di Desa Miau Merah, Kecamatan Silat Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar). Sudah 12 tahun berjalan sejak tahun 2000, lahan belum diserahkan kepada petani.
Petani bahkan hanya menerima 25 persen dari hasil panen. Selebihnya, diambil perusahaan dengan alasan untuk membayar kredit dan pengeloaan. Kenyataan, kredit ke bank tak dibayar. Malah petani yang diminta menanggung utang pembangunan kebun dan kerugian kelola mencapai lebih Rp200 miliar.
Soal kawasan PT RAP masuk dalam kawasan hutan, Pemkab Kapuas Hulu pun agaknya sudah wanti-wanti soal ini. Dari data Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat, PT RAP adalah salah satu perusahaan yang konsesinya cukup besar masuk dalam kawasan hutan.
PT RAP merupakan anak perusahaan dari Salim Group. Berdasarkan data dari Dirjen Adrminstrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM, terdaftar pada Agustus 2020. Tercatat 28 turunan usaha yang didaftarkan meliputi lingkung perkebunan sawit.
Pemegang sahamnya adalah PT Salim Ivomas dan PT Sarana Inti Pratama. Tercatat Johnny Ponto sebagai direktur utama, Sophiawati Rahardjo sebagai komisaris dan Herlina Sugianto, sebagai direktur.
Konsesi PT RAP melingkupi Kecamatan Silat Hilir dan Silat Hulu, luasanya mencakup 18 ribu hectare. Dari data Pemprov Kalimantan Barat, perusahaan ini adalah satu-satunya yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan di Kabupaten Kapuas Hulu, seluas 2.171 hektare.
Hal ini membuat daftar 'dosa' perusahaan kian bertambah. Walau, grup ini sudah mengundurkan dari dari keanggotaan RSPO sejak 2019 lalu, setelah bergabung selama 15 tahun. Seperti diketahui RSPO menerapkan kebijakan No Deforestation, No Peat And No Explotation (NDPE), yakni tidak boleh ada deforestasi, tidak membuka lahan gambut, dan tidak ada eksploitasi.
Masuknya PT RAP sebagai perusahaan yang konsesinya berada dalam kawasan hutan serta adanya konflik lahan dengan masyarakat menjadikan perusahaan tersebut menyalahi dua kebijakan NDPE. Padahal setelah mundur Salim Ivomas menyatakan tetap akan menerapkan kebijakan sawit berkelanjutan walaupun sudah keluar dari RSPO.
“Tapi kita harapkan perusahaan yang masuk itu, tidak memperdaya masyarakat desa,” ujar Tumenggung Rajang, salah satu tokoh adat Desa Penai.
Rajang bilang, kini masalah dengan perusahaan sudah selesai. Dia mengharapkan, warga mendapatkan haknya kembali, walau kini dalam bentuk lahan sawit.
Di Kalimantan Selatan (Kalsel), PT Sinar Kencana Inti Perkasa (SKIP) diduga merambah kawasan Cagar Alam Teluk Kelumpang. Bentang alam yang semula rimbun semak belukar telah bersalin wujud. Bibit sawit setinggi satu-dua meter terpacak di sekujur bukaan baru lahan perkebunan sawit di pelosok Desa Sembilang, Kecamatan Kelumpang Tengah, Kabupaten Kotabaru. Parit-parit kanal aliran air pun belum sepenuhnya tuntas digarap ketika Tempo menelisik lokasi baru kebun sawit milik PT SKIP Senakin Estate ini.
“Setahu saya itu masih cagar alam, tapi kenapa bisa digarap lagi. Dulu itu, kebun mundurnya dua kilometer dari bibir pantai, tapi setelah entah ada perubahan undang-undang sekarang maju lagi, dikerjakan lagi sekitar 150 hektare,” tutur sumber Tempo.
Kepala Desa Sembilang, Ahdiyat, membenarkan informasi tersebut. Seingat dia, lahan kebun sawit itu baru dibuka sekitar awal tahun 2023 tanpa pemberitahuan ke Pemerintah Desa Sembilang. Ahdiyat justru diberi kabar dari warga tetangga desa bahwa PT SKIP Senakin Estate membuka kebun sawit di sana.
“Faktanya memang ada penggusuran. Namun jawaban dia (SKIP) itu masuk HGU dia,” kata Ahdiyat.
Ahdiyat dan sejumlah kepala desa menghadap Pemerintah Kabupaten Kotabaru karena mempersoalkan HGU perkebunan sawit swasta, salah satunya PT SKIP Senakin Estate. Dalam pertemuan ini, Ahdiyat berkukuh bahwa lahan HGU dan cagar alam yang dikerjakan PT SKIP sebagai aset Desa Sembilang.
“Lahan itu lahan desa yang masuk HGU perusahaan. Walaupun masuk cagar alam atau wilayah apa, yang jelas itu wilayah desa. Tapi sampai sekarang belum ketemu pihak perusahaan,” tutur Ahdiyat.
Cagar Alam Teluk Kelumpang – Selat Laut – Selat Sebuku (Kelautku) ditunjuk pertama kali oleh Menteri Pertanian lewat Surat Keputusan Nomor 827/Kpts/Um/9/1981 bertarikh 24 September 1981. Saat itu, cagar alam ini seluas 66.500 hektare sebagai kawasan hutan dengan fungsi cagar alam. Pada 2009, Menteri Kehutanan menunjuk lagi cagar alam ini lewat SK Nomor 435/Menhut-II/2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan.
Empat tahun setelah 2009, luas Cagar Alam Kelautku menyusut jadi 58.227 hektare karena sebagian lahan beralih fungsi ke hutan produksi. Adapun pada 2019, 1.239 hektare lahan cagar alam beralih fungsi jadi Taman Wisata Alam Pulau Burung dan Pulau Sewangi. CA Kelautku kini seluas 56.988 hektare.
Hasil analisis citra satelit Greenpeace dan Sawit Watch sama-sama mengkonfirmasi indikasi kebun sawit PT SKIP merambah cagar alam di Desa Sembilang. Greenpeace menyebut data sawit dalam kawasan hutan ini berbasiskan analisa tutupan lahan, yang mengidentifikasi tanaman sawit di seluruh Indonesia, lalu ditumpangsusunkan pakai peta kawasan hutan.
“Sawit dalam konservasi ini pada konsesi PT SKIP (grup GAR) diperkirakan 535,99 hektare dalam kawasan konservasi Teluk Kelumpang – Selat Laut – Selat Sebuku,” tulis Sawit Watch atas analisis citra satelit.
Dalam laporan berjudul Sawit Ilegal Dalam Kawasan Hutan: Karpet Merah Oligarki, Greenpeace menemukan ada 4.567 hektare kebun sawit yang merambah Cagar Alam Teluk Kelumpang - Selat Laut - Selat Sebuku di Kalimantan Selatan. Perusahaan perkebunan menguasai 3.896 hektare, dan sisanya kebun sawit swadaya masyarakat. PT SKIP, dalam laporan itu, tercatat satu dari 25 besar perkebunan bersertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dengan kebun sawit di dalam hutan lindung dan konservasi.
Juru kampanye hutan Greenpeace, Syahrul Fitra, menuturkan HGU PT SKIP yang terindikasi masuk Cagar Alam Teluk Kelumpang – Selat Laut – Selat Sebuku seluas 1.789 hektare. Dari luasan ini, 1.069 hektare di antaranya masuk zona blok khusus (333 hektare), zona blok perlindungan / inti (201 hektare), dan zona perlindungan (535 hektare). “Sisanya, 720 hektare tidak diketahui zona bloknya,” kata Syahrul.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah V Banjarbaru menguatkan temuan Tempo atas indikasi Senakin Estate masuk kawasan cagar alam dari dua titik koordinat yang disodorkan: Lat -2.905649 Long 116.177441 dan Lat -2.899056 Long 116.164072.
“Titik satu dan dua dalam CA Teluk Kelumpang, HGU PT Sinar Kencana Inti Perkasa,” kata Kepala BPKH V Banjarbaru, M. Firman Fahada, akhir November lalu.
Sementara lebih dari 22 ribu hektare kawasan hutan di Desa Paduran Sebangau, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, berubah wajah menjadi perkebunan sawit PT Suryamas Cipta Perkasa. Meski tidak sanggup berdiri tegak lantaran ditanam di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG), pohon-pohon sawit di perkebunan ini tetap tumbuh subur. Truk pembawa tandan buah segar terus bolak balik sepanjang hari mengangkut hasil panen.
PT Suryamas Cipta Perkasa merupakan anak perusahaan raksasa sawit, PT Best Agro International. Perusahaan milik keluarga konglomerat asal Surabaya, Tjajadi, ini mengantongi sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO. Bertentangan dengan prinsip keberlanjutan yang dipegang ISPO, perusahaan ini ditengarai menerobos kawasan budidaya dan lindung. Hampir seluruh perkebunan PT Suryamas Cipta Perkasa berada di kawasan ilegal.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat 32 persen konsesi perusahaan ini atau seluas 7.951 hektare berada di fungsi ekosistem gambut (FEG) budidaya. 67 persen lainnya atau seluas 15.596 hektare berada di FEG lindung.
Ironisnya, pemerintah sedang melakukan agenda pemutihan kelapa sawit yang terlanjur ditanam di kawasan hutan. Presiden Joko Widodo alias Jokowi membentuk Satuan Tugas atau Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara atau Satgas Sawit pada pertengahan 2023 lalu. Satgas ini bertugas menangani pemutihan lahan sawit di kawasan hutan dan membantu mempercepat penentuan Undang-undang Cipta Kerja bagi setiap kasus yang ada.
Kementerian Pertanian mencatat, konsesi PT Suryamas Cipta Perkasa masuk pada area Kesatuan Hidrologis Gambut dengan kelas kedalaman sangat dalam seluas 20.324 hektare. Kemudian, perusahaan ini masuk ke area gambut kelas kedalaman dalam seluas 491,7 hektare, dan kelas kedalaman sedang seluas 1.780 hektare.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, PT Suryamas Cipta Perkasa sendiri telah mengajukan pemutihan lahan seluas 19.189 hektare. Best Agro International diduga menjadi perusahaan yang paling diuntungkan dalam kebijakan pemutihan lahan sawit di kawasan hutan karena memiliki lahan ilegal yang paling luas. Grup Best Agro memiliki sembilan perusahaan perkebunan dengan total 127.220 hektare di dalam kawasan hutan. Termasuk 6.210 hektare di dalam hutan lindung dan 539 hektare di kawasan konservasi.
Raksasa sawit ini juga merupakan grup perusahaan dengan titik bakar atau burn area terluas yaitu 3.605 hektare. Penanaman sawit di Kesatuan Hidrologis Gambut dengan kerentanan yang tinggi meningkatkan risiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Secara akumulatif, historis kebakaran hutan di area konsesi PT Suryamas Cipta Perkasa selama periode 2015 hingga 2020 mencapai 888 hektare. Sementara tutupan pohon yang hilang pada periode yang sama mencapai 259 hektare.
Kabupaten Pulang Pisau juga menjadi salah satu wilayah yang paling sering mengalami kebakaran hutan dan lahan. Berulang kali kebakaran meluas di sekitar area konsesi PT Suryamas Cipta Perkasa. Di antaranya pada konsesi sawit PT Palmina Utama, PT Katingan Mujur Sejahtera, dan PT Menteng Kencana Mas. Api melahap 291 hektare perkebunan PT Suryamas Cipta Perkasa pada Agustus-Oktober 2023. Kebakaran terjadi di kawasan fungsi ekosistem lindung seluas 256 hektare dan di kawasan fungsi ekosistem budidaya seluas 35 hektare.
Sayangnya, ketika hendak dimintai konfirmasi, kantor PT Suryamas Cipta Perkasa di Paduran Sebangau, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 21 Desember 2023 lalu, tampak lenggang. Surat permohonan wawancana yang dikirimkan Tempo ke kantor Best Agro International di Jalan Gatot Subroto, Kuningan, Jakarta Selatan pada 2 Februari 2024 tidak mendapatkan respons.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah H Rizky R Badjuri mengakui betapa luasnya kawasan hutan yang diterobos oleh korporasi sawit. Ia mengakui Kalimantan Tengah juga menjadi salah satu wilayah prioritas pemerintah dalam agenda pemutihan kawasan hutan. Rizky menyebut ada sekitar 1,3 juta hektare konsesi sawit di Kalimantan Tengah. Namun, ia mengaku tidak mengetahui luas lahan sawit di kawasan hutan Kalimantan Tengah yang bakal mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan jika perusahaan mengurus seluruh administrasi yang ditentukan.
Rizky mengungkapkan bahwa perwakilan Satgas Sawit mendatangi kantornya pada Agustus 2023 lalu. Satgas Sawit menyatakan akan menyelesaikan seluruh sengkarut perizinan lahan sawit di kawasan hutan Kalimantan Tengah sesuai Undang-undang Cipta Kerja. Namun, menurut Rizky, proses permohonan pelepasan atau pemutihan lahan sawit di kawasan hutan dilakukan oleh perusahaan secara mandiri melalui aplikasi Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun). Dengan demikian, Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah tak mengetahui implementasi kebijakan ini.
"Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah enggak ada akses ke Siperibun ini. Semua di pusat, jadi kami tidak tahu apa-apa," ujar Rizky saat ditemui Tempo di kantornya pada 22 Desember 2023.
Siperibun merupakan sistem pangkalan dan pengelolaan data perizinan perkebunan secara daring. Aplikasi ini dikelola oleh Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. Menurut Rizky, penggunaan aplikasi Siperibun dalam proses permohonan hingga legalisasi lahan sawit di kawasan hutan membuat pemerintah daerah setempat tak mengetahui progres kebijakan ini. Tetapi, ia menggarisbawahi adanya ancaman pencabutan izin hingga pidana terhadap pihak perusahaan apabila tidak melaporkan data di Siperibun dan mengajukan proses pelepasan kawasan hutan.
Meski tak menampik soal kerusakan ekosistem gambut akibat ekspansi sawit, Rizky menilai keputusan pemutihan lahan sawit ilegal ini adalah langkah yang tepat. "Toh, statusnya saja yang hutan lindung, kan hutannya sudah tidak ada," kata dia.
Karena itu Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah mendukung langkah pemerintah untuk menangani pemutihan lahan sawit di kawasan hutan. "Kalau benang kusut ini tidak diurai, yang kami takutkan semua investasi lari, karyawan kena juga," ujarnya.
Rencana pemutihan lahan sawit di kawasan hutan ini menuai perdebatan, khususnya dari kalangan aktivis lingkungan dan kelompok masyarakat sipil. Sebab, perkebunan sawit ditengarai sebagai penyebab terbesar kerusakan hutan di Tanah Air. Greenpeace Indonesia mencatat 61 persen kawasan hutan di Sumatera menampung 61,5 persen perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Disusul Kalimantan sebesar 35,7 persen. Kedua pulau ini mengalami deforestasi tertinggi selama lebih dari satu dekade terakhir, dengan masing-masing pulau kehilangan 4 juta hektare hutan.
Provinsi Riau dan Kalimantan memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di dalam kawasan hutan, yakni masing-masing mencapai 1.231.614 ha dan 817.693 hektare. Kedua provinsi tersebut mencakup dua per tiga dari total nasional. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menilai kerugian negara akan jauh lebih besar dibandingkan denda yang diperoleh pemerintah dari perusahaan yang mengajukan pemutihan. Berdasarkan analisa data oleh Walhi, sebagian besar korporasi-korporasi yang diidentifikasi KLHK memiliki perkebunan ilegal di kawasan hutan melakukan pelanggaran lainnya. Antara lain kebakaran hutan dan lahan, banjir, longsor, kekeringan, serta perampasan tanah yang menyebabkan konflik tenurial.
Misalnya yang terjadi pada PT Bumitama Gunajaya Agro yang mengajukan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan. Perusahaan ini berkonflik dengan masyarakat di Kinjil, Kalimantan Tengah. Tiga petani di Kotawaringin Barat dijebloskan ke penjara setelah melawan raksasa sawit Group Bumitama pada Juni 2023 lalu. Petani itu ditahan lantaran dituduh mencuri tandan buah segar dari kebun sawit PT Bumitama Gunajaya Abadi, salah satu anak usaha PT Bumitama Gunajaya di Kalimantan Tengah. Namun menurut catatan Walhi, lahan itu berada di luar konsesi hak guna usaha (HGU) Bumitama.***(tim)
Pemerintah memberikan pengampunan kepada perusahaan sawit yang sudah merambah hutan secara ilegal. Tempo bersama Riauterkini.com, IniBorneo.com, dan BanjarHits.co yang merupakan mitra Teras.id melakukan liputan bersama di empat provinsi untuk mengungkap kebijakan tersebut. Liputan ini mendapat bantuan/dukungan Pulitzer Center Rainforest Journalism Fund.