Masyarakat Marind Anim di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Merauke mengadapi krisis pangan, setelah hutan yang menjadi sumber hidup kini menghilang. Anak Kepala Kampung pun kurang gizi.
Demianus (6 bulan), terbaring lemah di atas karpet tipis di ruang tamu. Anak Kepala Kampung Zanegi, Natalis Basik Basik di Distrik Animha, sekitar 100 kilometer dari Kota Merauke itu sakit-sakitan dan kurang gizi. Dorce Gebze, sang ibu hanya bisa berharap anak keenamnya itu bisa bertahan, tidak seperti kakaknya yang meninggal di usia tiga bulan.
“Dia pu (punya) badan gemuk waktu lahir. Sekarang kata bidan kurang gizi,” ujar Dorce (30), Kamis (10/11/2022). Tubuh Dorce pun kurus kering, hingga tulang pipi terlihat menonjol. Dorce mengaku kerap sakit-sakitan sejak hamil Demianus.
Ia lebih mengandalkan susu formula, yang jelas tidak bisa menggantikan air susu ibu (ASI) yang memiliki banyak unsur yang dibutuhkan bayi. Namun, apa daya, tubuh Dorce yang juga kurang gizi, tak mampu menyediakan ASI.
Kalaupun dapat binatang, dagingnya dijual untuk orang lain agar dapat uang. Untuk anak-anak hanya kulit dan tulang belulang.
Saat ini, rata-rata Dorce memberikan tiga botol susu formula setiap hari ke bayinya. Jumlah ini, sebenarnya tidak cukup. Tapi, dia harus berhemat karena berbagi kebutuhan rumah tangga dengan empat anaknya yang lain, yang juga masih kecil.
Siang itu jatah minum Demianus sudah habis. Mulutnya mencoba mengisap botol kosong yang disodorkan sang kakak. Tubuhnya tergolek lemah, tanpa tangis, bahkan ketika dia pipis di celana.
Dorce pasrah dan hanya bisa berharap, Demianus bisa melewati masa-masa kritis. Tiga tahun lalu, anaknya, Gabrial Basik Basik, meninggal saat baru berumur dua tahun. “Gabriel sakit lima hari, berak darah. Dibawa di bidan, tapi tidak sembuh, sampai meninggal. Katanya kekurangan gizi juga,” kenang Dorce.
Saat kami berbincang, dua anak Dorce yang lain, tengah makan nasi di dapur rumahnya. Mereka menyantap nasi kosong alias nasi tanpa lauk pauk. "Seperti ini sehari-hari, kadang nasi tambah mi instan," ujarnya.
Berjarak 500 meter, di rumah yang berdekatan dengan Puskesmas Pembantu Zanegi, Catarina Tomba (28) menggendong anaknya, Paskalinus Samkakai yang baru berumur tujuh bulan. Anaknya yang lain, Karolina Samkakai (4) bermain di dekatnya.
Paskalinus beberapa bulan lalu bahkan didiagnosa mengalami gizi buruk oleh bidan. Ia juga hanya meminum susu formula yang jumlahnya terbatas. Berat badannya pun kurang, lingkar lengan kecil, dan tinggi badan yang tidak seimbang.
“Coba dikasih susu mama (ASI), tapi sudah tidak keluar,” kata Godefridus Samkakae, sang ayah.
Catarina dan Godefridus khawatir, Karolina akan bernasib sama dengan tiga kakaknya yang sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia selama tiga tahun berturut-turut.
“Tahun 2019 dan 2020, dua kakaknya yaitu, Selvina dan Angela meninggal berturut-turut. Keduanya perempuan dan baru berumur satu tahun saat meninggal,” kenang Gode. “Tahun lalu, kakaknya satu lagi, yaitu Paulinus meninggal saat berusia dua bulan. Ia meninggal di bevak tempat cari leles (sisa-sisa),” tambahnya.
Kematian anak-anak balita di Zanegi, kampung suku Marind Anim yang dihuni 637 jiwa atau 123 keluarga ini telah menjadi peristiwa biasa. Hampir setiap keluarga, pernah kehilangan setidaknya satu anak, dan mayoritas terkait dengan persoalan gizi.
Nuraini (32), bidan Kampung Zanegi mengatakan, kasus gizi buruk dan gizi kurang banyak ditemukan di wilayah ini. Tahun ini, ada dua kasus baru gizi buruk dan satu kasus gizi kurang. Tahun lalu, menurut dia, total ada lima kasus.
Data Dinas Kesehatan Merauke juga menunjukkan, Kampung Zanegi juga memiliki tingkat stunting atau tengkes yang tinggi, dengan tren memburuk. Pada 2021, dari 58 anak bawah lima tahun (balita) yang diukur, 10 di antaranya stunting atau prevalensinya 17,2 persen. Sedangkan hingga Agustus 2022, dari 38 anak balita yang diukur, sebanyak 14 di antaranya stunting atau prevalensinya 36,8 persen.
Nuraini mengatakan, salah satu penyebab kekurangan gizi dan stunting di Zanegi adalah tidak seimbangnya asupan makanan masyarakat. “Dulu orang di sini biasa makan saham (kanguru hutan), babi, rusa, dan lainnya dari hasil berburu. Sekarang susah. Akhirnya mereka lebih sering makan mi instan kalau ada uang. Kalau tidak ada, makan nasi kosong saja,” ujarnya.
Hutan menghilang
Bonifasius Gebse (62) tokoh adat di Zanegi mengatakan, ketersediaan pangan mulai merosot sejak hutan ulayat suku Marind-anim ini dijadikan konsesi hutan tanaman industri (HTI). Penebangan hutan mulai dilakukan sejak sekitar 2010, diawal proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Penebangan sempat berhenti pada 2016, sebelum kembali beroperasi pada November 2020.
Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No.18/MENHUT-II/2009 pada 22 Januari 2009 telah memberikan konsesi kepada PT Selaras Inti Semesta (SIS) seluas 169.400 hektare, sekitar 2,5 kali luas DKI Jakarta (66.150 ha) dengan izin operasi selama 60 tahun dan dapat diperpanjang 35 tahun.
Vitalis Gebze, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat Kampung Zanegi mengatakan, perwakilan marga telah menandatangani perjanjian dengan perusahaan dan mendapat kompensasi, sekalipun jumlah itu dinilai terlalu kecil. Dalam dokumen perjanjian yang ditandatangani pada 12 Desember 2009, disebutkan pada pasal 5 ayat (2) kompensasi atas kayu hasil panen adalah: (1) Rp 2.000 setiap kubik untuk kayu yang berasal dari hutan alam; (2) Rp 1.500 setiap kubik untuk kayu yang berasal dari hutan tanaman.
Keberadaan perusahaan mendorong perubahan, bukan hanya lingkungan, tetapi juga pola hidup masyarakat. “Dulu saat hutan masih lebat, kami hidup dari berburu dan menokok sagu. Sekarang berburu susah dapat binatang. Ikan yang dulunya banyak sekarang juga sudah tidak ada," ujar Bonifasius.
Warga kampung sekarang melakukan segala cara untuk mendapatkan uang, termasuk mengais hasil hutan yang tersisa seperti gambir dan ranting bekas tebangan perusahaan. Bahkan, menurut Bonifasius, kalau dulu orang berburu untuk memberi makan keluarganya, sekarang berburu untuk dijual.
"Dulu kalau berburu yang dijual hanya tanduk rusa, daging untuk dimakan seluruh keluarga. Sekarang, kalaupun dapat binatang, dagingnya dijual untuk orang lain agar dapat uang. Untuk anak-anak hanya kulit dan tulang belulang," ujarnya.
Namun, hasil mengais sisa hutan ini pun tak mencukupi karena selalu habis untuk berbagai barang konsumsi, khususnya beras, mi instan, rokok, dan pinang. Jangankan untuk menyekolahkan anak, untuk makan bergizi pun terbatas. Lagi pula, sudah sejak pertengahan tahun ini, satu-satunya sekolah dasar di Zanegi juga tutup karena sedang direnovasi.
Okto Waken, peneliti dari Vertenten MSC Papua di Merauke, mengatakan kasus Zanegi tersebut contoh kegagalan pembangunan di Papua akibat perubahan pola hidup yang dipaksakan tiba-tiba. Masyarakat yang semula berlimpah pangan dari hasil berburu dan meramu di hutan, tiba-tiba kehilangan sumber hidupnya. Mereka menghadapi dunia luar tanpa bekal dan pendampingan.
"Memang ada BLT (bantuan langsung tunai), juga dana kampung Rp 1,2 miliar per tahun di Zanegi. Tapi, seperti di kampung lain, dana itu rata-rata habis untuk bangunan fisik yang sering tidak banyak berguna bagi kesejahteraan masyarakat, bahkan terkadang dibagi-bagi tidak jelas," kata dia.