- Masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi, memiliki tradisi jampi. Jampi adalah kalimat doa yang dibacakan. Tujuan dari tradisi ini adalah menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan alam.
- Pada saat ini tidak semua masyarakat mempertahankan tradisi jampi. Beberapa wilayah yang alamnya sudah rusak, tradisi jampinya juga hilang.
- Tradisi jampi didasarkan pada keyakinan, jika semua benda [abiotik] di alam semesta memiliki jiwa atau ruh, yang memberikan manfaat bagi manusia.
- Tradisi jampi harus dipertahankan atau dilindungi, sebagai upaya menjaga lingkungan atau alam dari kerusakan.
Masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi adalah manusia amfibi. Mereka hidup mengakses perairan dan daratan. Semua kekayaan alam di perairan dan daratan itu dijadikan sumber penghidupan, baik papan, pangan, obat-obatan, dan ekonomi.
“Sejumlah produk budaya dilahirkan dari hubungan manusia dengan lahan basah. Misalnya kuliner, seperti ikan asin, ikan asap, pekasem [fermentasi ikan], kemplang, kerupuk, dan pempek, kemudian teknologi alat tangkap ikan, teknologi perkapalan dan perahu, teknologi rumah kayu panggung, serta obat-obatan tradisional,” kata Dian Maulina, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik [FISIP] Universitas Islam Negeri [UIN] Raden Fatah Palembang.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Berbagai produk budaya tersebut dijaga sejumlah tradisi. Mulai dari mitos, ritus sungai, hingga jampi-jampi.
Mitos itu misalnya tentang buaya putih yang menjaga lubuk atau lebung larangan. Tujuan mitos agar manusia tidak merusak lubuk atau lebung sebagai tempat bertelur dan membesarnya beragam jenis ikan air tawar. Kemudian mitos harimau putih yang menjaga wilayah hutan larangan, sehingga manusia tidak merusak hutan tersebut. Hutan larangan biasanya sebagai sumber mata air tawar dan tanaman obat tradisional.
Ritus sungai dilakukan agar para penghuni sungai, seperti buaya, antu banyu, dan makhluk gaib lainnya yang hidup di air, tidak mengganggu manusia yang hidup di sekitar sungai. Tujuannya, agar manusia tidak merusak sungai.
Antu banyu adalah makhluk yang hidup di sungai, sering memangsa anak-anak dan remaja yang tengah mandi. Antu banyu dipercaya bukan binatang tapi makhluk halus atau jin.
“Jampi-jampi adalah kata-kata atau kalimat yang dibaca atau diucapkan, untuk mendatangkan kekuatan gaib, terkait dengan berbagai aktivitas di perairan dan daratan,” kata Dian yang melakukan penelitian mengenai jampi-jampi di sejumlah dusun di Kabupaten Ogan Ilir.
Berbeda dengan mitos dan ritus sungai, tujuan dari jampi yakni menjaga hubungan harmonis atau tidak saling mengganggu antara manusia dengan binatang buas atau berbisa. Contohnya buaya, harimau, beruang, ular, lebah, kalajengking, kelabang, laba-laba beracun, dan ulat bulu.
“Jampi juga digunakan dalam upaya menangkap ikan. Mereka berharap melalui jampi mendapatkan ikan yang banyak,” jelas Dian.
Di balik dari tradisi jampi ini, jelas Dian, masyarakat tidak melakukan cara yang tidak lestari untuk menangkap ikan dengan jumlah yang banyak, seperti menggunakan racun atau alat tangkap yang tidak lestari, seperti pukat.
“Mereka percaya melimpahnya hasil ikan yang didapatkan merupakan rezeki yang diberikan oleh penguasa alam semesta, serta diizinkan oleh para penjaga sungai, rawa dan lebung, seperti buaya dan antu banyu yang juga mengonsumsi ikan,” ujar Dian.
“Kesimpulan saya, jampi-jampi adalah upaya menjaga pangan secara berkelanjutan,” kata Dian.
Tetapi, sumber pangan utama [protein] masyarakat di lahan basah Sungai Musi adalah ikan. Mereka tidak terlalu mengonsumsi binatang berkaki empat.
“Buktinya tidak ada masakan tradisional yang berbahan daging dari hewan berkaki empat. Berbagai masakan dari hewan berkaki empat yang ada saat ini, semuanya merupakan kuliner dari luar seperti dari India, Timur Tengah, Jawa, dan Sumatera Barat. Misalnya masakan malbi dan rendang,” terang Dian.
Bertahan dan hilang
Selasa sore di akhir Oktober 2023, Bone [21] pergi ke sebuah rawa, tidak jauh dari rumahnya. Dia membawa sejumlah tajur ikan. Dia berdiri di hadapan rawa. Kedua matanya terpejam, seakan pikirannya terfokus pada satu hal. Dia membaca sebuah jampi. Tidak lama kemudian dia memasang tajur ke sejumlah tempat di sebuah rawa. Tajur adalah pancing ikan yang diberi umpan cacing, katak atau ikan, yang didiamkan semalaman di rawa atau sungai.
Ini jampinya:
Bismillah hirrohmannirrohim,
Walyatalattaf nyelantop ikan gabus
Arti dari jampi atau doa tersebut: “Atas nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Hendaklah berhati lembut ikan gabus [nama ikan yang menjadi target]”
“Kakek saya yang mengajarkan jampi-jampi ini,” kata Bone, warga Desa Arisan Gading, Kecamatan Inderalaya Selatan, Kabupaten Ogan Ilir [OI], Sumatera Selatan.
Sementara untuk menghadapi binatang buas seperti buaya, harimau, beruang, jampi yang dibacakan:
Qaf Ha Ya Ain Sod Ha Mim Ain Sin Sod
Jampi diambil dari hurup Arab. Maknanya menegur atau berkomunikasi baik dengan berbagai jenis binatang buas.
Dijelaskan Bone, hal pertama yang dipegang orang yang ingin mengamalkan jampi-jampi adalah yakin bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai alam semesta.
“Jika tidak yakin akan kekuatan yang menguasai alam semesta, maka jampi-jampi tidak akan ampuh.”
Selain keyakinan tersebut, ada juga etika bagi mereka yang mengamalkan jampi-jampi tersebut, yakni dilarang membunuh anak ikan, harimau, buaya, dan binatang beracun.
“Termasuk ulat bulu,” katanya.
Jampi saat menangkap ikan juga masih diamalkan sejumlah warga di Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten OI.
“Kami masih mengamalkannya. Itu kan doa kepada Tuhan, agar diberikan rejeki,” kata Amiruddin, warga Desa Burai yang puluhan tahun mencari ikan di Sungai Kelekar dan rawang [rawa gambut].
Tujuan dari jampi tersebut, kata Amiruddin, agar manusia sadar bahwa semua makhluk hidup di alam ini adalah milik Tuhan. Untuk mendapatkannya, baik sebagai sumber pangan maupun ekonomi, harus seizin Tuhan.
Berbeda di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI].
“Jampi-jampi itu sudah hilang. Tidak banyak lagi diamalkan oleh warga di sini. Termasuk saya, sudah lupa semua jampi-jampinya. Tapi saya selalu berdoa setiap kali melakukan aktivitas, termasuk kalau masuk hutan,” kata Amir [61], warga Desa Bangsal.
“Puluhan tahun lalu, masyarakat di desa ini masih mengamalkan jampi-jampi terkait alam. Mulai dari jampi untuk menangkap ikan, burung, hingga menghindar dari binatang buas,” ujarnya.
Jampi-jampi terkait alam juga sudah hilang pada masyarakat Desa Perigi Talangnangka, Kabupaten OKI.
“Sudah tidak ada lagi. Dulu, masih banyak orang yang mengamalkan. Mereka yang mengamalkan jampi itu sangat peduli alam. Membunuh ular bae mereka tidak mau. Mereka sangat marah jika ada yang mencoba membunuhnya,” kata Eddy Saputra, warga Desa Perigi Talangnangka.
Tapi, sejalan rusaknya hutan dan rawang [rawa gambut] di Desa Perigi Talangnangka tradisi jampi itu pun menghilang.
“Saya sendiri tidak mendapatkan bacaan jampi tersebut. Padahal tujuan dari jampi itu, katanya, membangun komunikasi yang baik dengan alam. Baik dengan binatang buas, sungai, rawa, dan pohon.”
Desa Perigi Talangnangka luasnya 2.000 hektare. Hampir setengahnya adalah rawang [rawa gambut]. Beragam nama rawangnya. Misalnya Rawang Teluk, Rawang Gedeh, Rawang Bangsal, Rawang Pulau Kubu, Rawang Pang Jauh, dan Rawang Pulau Sepanggil. Rawang ini terhubung dengan beberapa anak Sungai Air Padang.
Hingga awal 1970-an, di rawang ini terdapat hutan rimba, yang menjadi habitat beragam jenis flora dan fauna, termasuk harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].
Kondisi harimau sumatera saat ini terancam akibat perburuan, berkonflik dengan manusia, serta habitatnya yang terganggu akibat hutan tempat hidupnya tergerus. Berdasarkan IUCN, kucing besar ini berstatus Kritis [Critically Endangered/CR] atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.
Tidak jauh berbeda, gajah sumatera juga berstatus Kritis [Critically Endangered/CR]. Perburuan hingga rusaknya habitat masih menjadi faktor utama permasalahan kehidupan mamalia besar ini.
Gajah sumatera dan harimau sumatera merupakan satwa liar dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi.
Pertengahan 1970-an hadir perusahaan HPH [Hak Pengusahaan Hutan] PT. Ramin Jaya. Perusahaan beroperasi hingga tahun 1995. Yang tersisa hanya hamparan rawang mengering saat musim kemarau dan banjir saat penghujan.
Setiap kali musim kemarau, rawang di Desa Perigi Talangnangka terbakar. Menjadi salah satu sumber kabut asap di Palembang dan wilayah lainnya.
Hampir 30 tahun terakhir, harimau sumatera tidak terlihat lagi di Desa Perigi Talangnangka. Sementara gajah sumatera terkumpul di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, yang berbatasan dengan rawang di Desa Perigi Talangnangka.
Mitigasi lingkungan
Dr. Husni Thamrin, budayawan Palembang, menjelaskan masyarakat yang menetap di sekitar lahan basah Sungai Musi adalah masyarakat Melayu. Tumbuhnya tradisi jampi-jampi terkait alam pada masyarakat Melayu dikarenakan mereka percaya semua benda [abiotik] di alam semesta memiliki jiwa atau ruh.
“Baik itu air, api, batu, pasir, dan pohon,” kata Husni.
Selain itu, masyarakat Melayu memandang semua makhluk hidup adalah keluarga, “Maka, banyak istilah atau panggilan keluarga digunakan untuk entitas alam, seperti harimau dipanggil kakek atau datuk, entitas gaib disebut nenek atau buyut, bumi disebut ibu, dan lainnya.”
Pandangan tersebut juga diperkuat karena mereka mendapatkan manfaat atau hajat hidup dari berbagai entitas tersebut. Misalnya, sungai yang memberikan air dan ikan, serta hutan yang memberikan makanan, obat-obatan, dan kayu.
“Semua perilaku orang Melayu ingin menampakan kedekatan emosional mereka dengan alam, sehingga benda dan makhluk hidup di alam perlu dihormati,” ujar Husni.
Maka, jelas Husni, jampi-jampi itu sebagai alat cumbuan mereka kepada alam, walau jampi diucapkan melalui mulut, tetapi secara spiritual, perlakuan penghormatan itu lahir dari orang Melayu baik secara gerak maupun ucapan.
“Jampi itu lahir dari ungkapan jiwa yang mendalam kepada ruh entitas alam yang dituju, sebagai alat komunikasi antar-jiwa mereka dengan jiwa entitas-entitas tersebut,” katanya.
Beranjak dari tujuan tradisi jampi pada masyarakat yang hidup di sekitar lahan basah Sungai Musi, “Dapat disimpulkan jampi merupakan upaya menjaga alam atau lingkungan. Ketika tradisi jampi hilang, maka penghormatan manusia terhadap alam juga turut berkurang,” kata Husni.
Husni berharap, tradisi jampi terus dipertahankan atau dilindungi oleh masyarakat dan pemerintah. Sebab, jampi adalah upaya menjaga lingkungan atau alam dari kerusakan.
“Buktinya, pada masyarakat Melayu yang masih mempertahankan berbagai tradisi yang arif dengan alam, termasuk tradisi jampi, maka kondisi lingkungan atau alam di sekitarnya masih terjaga,” paparnya. [Selesai]