Hutan hujan tropis di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat telah lama menjadi perhatian dunia karena keunikannya. WWF melakukan penelitian komprehensif 1980 dengan laporan "Saving Siberut: A Conservation Master Plan" dan UNESCO pada 1981 menetapkan kawasan pulau 403.300 ha itu sebagai cagar biosfer (Man of Biosphere). Pada 1993 bagian barat pulau seluas 190.500 ha ditetapkan sebagai Taman Nasional Siberut.
Hutan Pulau Siberut memiliki endemisitas yang tinggi. Terdapat empat primata endemik: bokkoi (Macaca pagensis), joja (Presbytis potenziani siberu), bilou (Hylobates klosii), dan simakobu (Nasalis concolor siberu). Diperkirakan 65 persen binatang menyusui dan 14 jenis burung adalah endemik.
Pulau Siberut juga tempat hidup masyarakat tradisional Mentawai (indigenous people) dengan kebudayaan kuno. Mereka sangat tergantung kepada hutan.
Namun hutan pulau itu terancam konsesi. Terdapat satu HPH (Hak Pengelolaan Hutan) seluas 49.440 ha di bagian utara dan barat pulau sejak 2003. Tahun lalu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengeluarkan izin Hutan Tanaman Industri 19.876 ha. Pemerintah juga menetapkan 2.600 ha lahan dan hutan di barat daya sebagai lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk pariwisata.
Aktivitas perusahaan penebangan hutan, perkebunan skala besar, dan KEK selain mengancam biodeversiti, juga deforestasi, dan degradasi lingkungan. Solusi terhadap masalah ini masih belum jelas di tengah tarik-ulur kepentingan pemerintah dan penolakan dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan. Saat ini kondisi di Pulau Siberut juga terancam perubahan iklim: kemarau panjang menyebabkan kebakaran ladang warga dan penduduk kesulitan air bersih. Rencana tulisan: (1) bagaimana menyelamatkan hutan Pulau Siberut; (2) dampak terhadap indigenous people Mentawai, dan; (3) ancaman terhadap endemisitas Siberut.