- Laju abrasi di Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, makin mengkhawatirkan. Dampak krisis iklim parah terjadi. Sudah lebih satu kilometer daratan berubah jadi laut. Rumah-rumah satu persatu hilang. Kebun-kebun kelapa mati dan terus tergerus. Warga Kuala Selat, ingin pemerintah bertindak cepat menyelamatkan kampung halaman desa yang berhadapan dengan laut lepas ini.
- Sekitar 2.000 hektar kebun kelapa, sebelah utara desa, rusak parah, tak ada yang bisa dipanen. Barisan pohon kelapa gundul, tak lagi berdaun dan berbuah. Sekitar 144 keluarga petani kehilangan mata pencarian. Beberapa dari mereka meninggalkan desa itu.
- Sebagian petani bertahan mengambil upah kupas kelapa yang masih tersisa, sekitar 3.000 hektar lagi, sebelah selatan desa. Banyak petani yang semula mandiri beralih jadi kuli di kebun milik orang lain.
- Bagaimana upaya penyelamatan Desa Kuala Selat yang terancam hilang ini? Pemulihan Kuala Selat, mesti melibatkan banyak pemangku kebijakan. Harus ada skema tata air untuk memulihkan kembali ekosistem yang hilang. Tujuannya, untuk mencegah air laut masuk berlebihan dan memperbanyak ketersediaan air tawar dalam tanah. Kemudian….
Laju abrasi di Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, makin mengkhawatirkan. Dampak krisis iklim parah terjadi. Sudah lebih satu kilometer daratan berubah jadi laut. Rumah-rumah satu persatu hilang. Kebun-kebun kelapa mati dan terus tergerus. Warga Kuala Selat, ingin pemerintah bertindak cepat menyelamatkan kampung halaman desa yang berhadapan dengan laut lepas ini.
Lizawati, sedih melihat tanah kelahirannya. Abrasi dari tahun ke tahun, makin memperburuk keadaan. Warga kehilangan pekerjaan. Tidak menutup kemungkinan, tanah leluhur itu akan jadi kampung mati.
Rumah tempat dia dilahirkan pun sudah lenyap diterjang ombak, kini sudah jadi laut. Banyak kenangan masa kecil ikut tenggelam. Mulai taman bermain maupun sekolah tempat menimba ilmu.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Liza juga banyak kehilangan teman sebaya karena mengungsi keluar kampung.
“Yang masih bertahan di sini pun, tinggal sudah berjarak dan agak jauh,” kata perempuan 30 tahun ini. Dia sehari-hari berjualan pakaian keliling dari rumah ke rumah.
Lain hal, Susanti, perempuan 19 tahun, tetangga Liza. Ibu satu anak ini lebih pasrah. Dia meneguhkan keyakinan untuk tidak takut dan khawatir laut makin dekat.
“Tak mungkin sekali ombak langsung menghantam (merobohkan) rumah. Memang, air pasang belum menjejak lantai rumah.”
Krisis iklim
Zainal Abidin, Plh Kepala Desa Kuala Selat, mengatakan, sekitar 2.000 hektar kebun kelapa, sebelah utara desa, rusak parah, tak ada yang bisa dipanen. Barisan pohon kelapa gundul, tak lagi berdaun dan berbuah.
Sekitar 144 keluarga petani kehilangan mata pencarian. Beberapa dari mereka—meski tak banyak—mengungsi, meninggalkan desa itu.
Sebagian, bertahan mengambil upah kupas kelapa yang masih tersisa, sekitar 3.000 hektar lagi, sebelah selatan desa.
Dia bilang, banyak petani yang semula mandiri beralih jadi kuli di kebun milik orang lain. Hamparan tanaman kelapa tersisa itu juga kian terancam. Tanggul manual, saat ini, lebih sekitar 30 meter dari bibir pantai. Sudah mulai bocor dan disusupi air asin.
“Saat ini, warga petani sebelah selatan masih berupaya menutup lubang. Cuma, kalau musim angin utara tetap was-was jebol. Masyarakat rencana mau bangun tanggul swadaya, sebelum jebol seperti di utara, dua tahun lalu,” kata Zainal.
Kebun orangtua Zainal, masih bertahan sedikit di ujung, sebelah utara. Kebun sudah terkena air asin hingga buah mulai mengecil.
Kini, untuk minum air kelapa saja susah. Setidaknya, ada enam bidang atau sekitar 12 hektar kebun kelapa tersisa, tak normal lagi.
Angin utara, katanya, adalah cuaca buruk dan menakutkan bagi masyarakat Kuala Selat. Mereka sudah berkali-kali mengungsi dan berpindah rumah dari satu tempat ke lokasi lain karena dihempas ombak.
Nelayan juga terdampak. Mereka tak berani melaut karena takut gelombang tinggi. Biasanya, musim ini datang antara Desember hingga Februari walau sekarang masyarakat sulit prediksi.
“Kami pasrah saja. Tak bisa buat apa-apa. Kami tak mampu. Mana tanggung jawab pemerintah? Kalau desa hancur, ke mana kami tinggal?” kata Bujang, tokoh adat Suku Duano.
Dia berharap, ada pemulihan kawasan mangrove hingga sector perikanan dan perkebunan hidup lagi.
Pemerintah Desa Kuala Selat sudah beberapa kali bangun rumah layak huni bagi masyarakat, terutama nelayan terdampak gelombang tinggi. Mereka hidup dan tinggal paling dekat dengan pantai. Terakhir, setelah peristiwa tsunami kecil 2021, pemerintah menyiapkan 30 rumah bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal dan harta benda.
Pemerintah Desa Kuala Selat, juga sempat menggelontorkan dana desa buat sejumlah kolam lele bagi petani yang kehilangan mata pencarian untuk penuhi konsumsi lokal.
Program pangan itu tak berlangsung lama. Masyarakat tak biasa dengan ikan air tawar, pasar juga tak tersedia untuk dijual.
Alhasil hanya berlangsung sekali panen atau sekitar empat bulan.
“Sekarang, kolamnya jadi penampungan air untuk rumah-rumah warga relokasi akibat terdampak ombak atau gelombang besar,” kata Zainal.
Banjir rob atau air pasang laut juga makin parah mengancam kehidupan warga Kuala Selat. Antara 1980 dan 10 tahun berikutnya, air laut belum pernah memasuki pemukiman mereka. Setelah itu, laut makin dekat. Sekarang, empat kilometer dari bibir pantai ke dulu adalah daratan.
Di sana, berdiri rumah-rumah dan fasilitas umum yang tinggal kenangan. Mesjid, misal, sudah tiga kali pindah. Perkiraan Zainal, sekali bergeser jarak sekitar 500 meter.
Senada dikatakan Junaidi M, Kasi Pemerintahan Desa Kuala Selat. Pada 1995, kala itu dia baru tamat sekolah dasar, Masjid Al Hidayah masih dikelilingi hutan.
Berjalan waktu, rumah ibadah itu pindah pertama kali, setelah dia menikah. Lima belas tahun kemudian, pindah lagi, terakhir digeser ke Dusun Kampung Baru.
Begitulah Junaidi berpatokan pada pengikisan daratan yang terjadi di desanya. “Dulu, kita masih bisa lihat hutan Lingga. Makin lama, makin cepat perpindahannya,” kata Junaidi.
Lingga, yang dia maksud, satu kabupaten di Kepulauan Riau.
Kuala Selat berhadapan langsung dengan pulau itu.
Abdul Rahman, juga punya tanda-tanda. Pada 1970-an, sungai di Kuala Selat masih sempit. Kiri dan kanan penuh pohon nipah dengan daun seolah menyatu. Hanya dengan mendayung sampan bisa menyusuri sungai itu. Pompong mesin tak bisa masuk. Belum ada tanggul. Tanah masih tinggi.
Sekitar tahun 1980-an, laki-laki 62 tahun ini melihat daratan mulai terkikis. Ombak terasa makin kuat dan besar. Air pasang makin tinggi. Jalanan mulai tenggelam. Ratusan makam hilang. Tiap Desember, rumah panggung agak rendah harus siap-siap tenggelam.
Gedung Puskesmas Pembantu (Pustu) yang sudah berdiri 25 tahun, kini tegak miring. Anak-anak berenang di dalamnya ketika pasang besar, seperti kolam.
“Pustu, itu bukan nak menyehatkan orang lagi. Salah-salah bisa membunuh orang. Sempat kayu di atas jatuh, kira-kira tak membahayakan?” kata Liza, anak perempuan Rahman yang kini tinggal sebelahan.
Sebelumnya, kali pertama pada 1999, Rahman harus mencari daratan baru untuk pindah rumah. Pada 2006, dia pindah lagi.
“Bekas rumah saya dulu sudah jadi laut sekitar satu kilometer dari pesisir pantai sekarang. Rumah warga kena ombak tak terhitung lagi. Orang-orang pindah berkali-kali,” kenangnya.
Jarak rumah Rahman, saat ini, sekitar 100 meter lagi dari laut. Dia dapat bantuan rumah layak huni dari pemerintah desa pasca gelombang besar 2006.
Dia niat hendak meninggalkan Kuala Selat tetapi masih berat karena anak perempuan satu-satunya kukuh bertahan.
Rupanya, kejadian serupa juga menimpa warga lain pada 2020. Lebih tak disangka lagi, menyambut 2022, ada juga rumah warga kena hantaman ombak.
Salah satunya, Mawarudin, nelayan Sondong. Dia bergeser ke Dusun Kampung Baru setelah rumah roboh kena hantam ombak. Kejadian ini paling parah sepanjangan hidupnya. Hanya beberapa helai pakaian, selain yang dikenakan di badan, sempat dia selamatkan.
Junaidi pun makin cemas dengan pola banjir, waktu tak menentu. Biasa lima tahun sekali dan bertepatan musim utara. Justru, dua tahun belakangan, ketinggian air pasang makin meningkat.
Dua kejadian sebelumnya, sekadar menenggelamkan jalan dan pasar dekat laut. Tahun ini, sudah merendam rumah warga bahkan makin jauh ke darat. Padahal, model tempat tinggal warga Kuala Selat berupa bangunan panggung material kayu.
“Januari, kemarin, banjir terbesar dalam sejarah Kuala Selat. Kami kira 2022 paling besar. Rupanya, tahun ini, lagi tinggi. Selisih satu jengkal. Saya berani kata gitu, sudah 40 tahun tak pernah gitu (banjir),” katanya.
Junaidi cerita, ancaman iklim itu turut mengubah pola kehidupan warga Kuala Selat, mulai ekonomi hingga sendi sosial. Penurunan daya beli dalam masyarakat terjadi. Dulu, warga beli beras per karung ukuran 5-10 kilogram. Kini, hanya mampu satu kilogram. Sangat irit ihwal pengeluaran biaya konsumsi. Bila tak wajar dan belum membutuhkan, pembelian ditunda dulu. Kecuali orang-orang dengan simpanan emas yang dinilai cukup bertahan.
Secara mental, kata Junaidi, warga Kuala Selat cukup terpukul dengan penurunan ekonomi masyarakat ini. Hari ke hari, pergaulan antara warga tidak seceria biasa karena memikirkan nasib masing-masing. Bagaimana ke depan? Apa mau diperbuat? Gara-gara ini, ngumpul atau nongkrong bersama warga makin jarang.
“Dulu, mudah dapat sayur. Sekarang, harus beli karena kebun terendam air asin. Apabila lumpuh ekonomi, segalanya akan lumpuh. Uang memang tak menjamin tapi tanpa uang kita sulit juge. Kan itu intinya. Apa yang bisa dibuat suatu hari? Menunggu kepastian,” kata Junaidi.
Keti, nelayan Suku Duano Kuala Selat, mengamini ada gangguan ekonomi buntut bencana iklim di desa mereka. Pada satu waktu, ada situasi ikan-ikan hasil tangkapan nelayan tak terjual. Pembeli utama di desa adalah petani kelapa, selain dipasok ke para pengepul dengan jumlah terbatas.
Ketika kebun-kebun petani musnah, penjualan ikan dengan eceran ke rumah tangga menjadi kurang diminati.
Terancam hilang, penyelamatan?
Zainal dan Junaidi memohon pemerintah segera mungkin membangun batu pemecah ombak. Bayangannya, teknologi itulah satu-satunya cara meredam kuatnya gelombang menghantam daratan Kuala Selat yang makin menipis dari hutan mangrove.
“Kalau tak itu, betul-betul tipis harapan masyarakat. Hanya itu obat paling ampuh selain tanggul,” sebut Zainal, mengingat ide dan permintaan itu sudah diperjuangkan sejak pemerintahan desa sebelumnya.
Meski begitu, jelang keinginan itu dipenuhi, pemerintah desa terus menggelontorkan dana desa untuk menerjunkan alat berat buat tanggul semampunya. Pekerjaannya swadaya. Masyarakat iuran beli minyak untuk gerakkan eksavator. Swasta dan dinas terkait, beberapa kali, juga ikut bantu.
“Setidaknya sudah empat lapis tanggul yang dibuat pemerintah desa di titik lokasi yang masih tergolong aman. Terlepas berhasil atau tidak menahan ombak, kami sudah berusaha. Kalau di sebelah utara, kami tak berani. Karena pasti tak bertahan lama,” kata Zainal.
Dia prediksi, kalau tak ada batu pemecah ombak, harapan selamatkan Kuala Selat, sangat tipis. Terutama menyelamatkan kebun kelapa tersisa milik 50 keluarga lagi, sebelah utara. Kalau tahun depan, banjir besar, kebun kelapa sekitar 480 hektar, itu bisa lenyap. Kondisi saat ini tanaman kelapa sudah sakit-sakitan. Di ujung, sama sekali tak bisa diambil lagi buahnya.
“Kalau tak ada solusi, ancamannya Kuala Selat akan hilang.”
Pemerintah Desa Kuala Selat, berkali-kali bersama masyarakat, menanam pohon mangrove jenis api-api di tepian tanggul. Bahkan ditambah benteng berupa barisan nibung. Tak sedikitpun berhasil.
“Percuma tanam bakau. Akan runtuh lagi. Walau pemerintah punya dana besar. Kami sudah pernah coba semua. Satu batang pun tak ada berhasil. Daratan runtuh terus. Dari sini (bibir pantai) hampir 1.000 meter lebih ke sana daratan, dulunya,” kata Bujang. Dia berharap pemerintah bikin turap.
Bujang menyadari laju kenaikan muka air laut abrasi karena mangrove menipis bahkan gundul di beberapa titik hamparan. Penyebabnya, tidak lepas dari penebangan liar yang sempat marak di masa lalu. Pelakunya bukan masyarakat lokal, melainkan orang luar yang ambil diam-diam.
Perkiraan Junaidi, tidak kurang 30 meter daratan sebelah utara terkikis, tiap tahun. Pemerintah desa mulai buat larangan penebangan mangrove. Petani dan nelayan pun ikut jaga. Bahkan tak takut mengejar penebang yang beraksi dengan sembunyi.
“Kalau ketahuan dan kedengaran kami kejar. Kalau dibiarkan, laut yang makin mengejar. Tahun ke tahun makin tinggi air laut,” kata Junaidi.
Musyafa Ahmad, Kasubpokja Pengembangan dan Pemasaran Produk Mangrove BRGM, menilai, kerusakan mangrove di Indragiri Hilir juga seiring lajunya perkembangan kelapa.
Sejalan pertambahan penduduk, perluasan kebun kelapa makin merangsek dan mendekat ke pesisir pantai. Sisi lain, masuknya air laut justru menyerang hamparan kebun kelapa itu sendiri.
Untuk itu, kata Ahmad, harus ada skema tata air untuk memulihkan kembali ekosistem yang hilang. Tujuannya, untuk mencegah air laut masuk berlebihan dan bisa memperbanyak ketersediaan air tawar dalam tanah.
Solusi utama, katanya, bukan pembangunan tanggul karena intrusi menyerang dari bawah.
Ahmad mengimbau, agar menghindari penggunaan air tanah berlebihan dan menanam tanaman yang banyak menghisap air. Sebaliknya, harus mulai ada aktivitas memasukkan air tawar ke dalam tanah. Caranya, perbanyak tanaman penyimpan air dan membangun embung penampungan air tawar.
Dengan begitu, ada keseimbangan antara penyerapan dengan ketersediaan air untuk tanaman kelapa masyarakat. “Ketika air tanah disedot dengan yang kembali tidak seimbang, intrusi akan masuk lewat bawah tanah. Terjadilah kerusakan kelapa karena minum air asin,” katanya.
Penanaman mangrove saja, kata Ahmad, tidak bisa menghentikan intrusi, sekadar memperlambat. Kalau tidak segera diatasi, intrusi air laut di Kuala Selat diprediksi mencapai empat kilometer. Hitungan BRGM, saat ini, air laut masuk ke daratan sekitar 1,5 kilometer.
“Intrusi kalau tidak diakhiri, potensi rusaknya masih sekitar dua kilometer. Karena air dari bawah menyerang terus,” katanya, usai penanaman mangrove simbolis pada bekas hamparan kebun kelapa yang terendam air asin.
Ahmad bilang, harus dibangun alat pemecah ombak (APO) untuk mengurangi kekuatan gelombang. Ia juga berfungsi untuk menahan lumpur yang akan menjadi sedimentasi. Daratan-daratan baru itu, nantinya, potensi ditanami mangrove.
BRGM menerjunkan tim untuk survei lokasi, sebelum peringatan Hari Mangrove Sedunia Juli lalu. Saat ini, mereka merancang rencana pemulihan pesisir Kuala Selat. Teknis lapangan akan melibatkan masyarakat, sesuai mandat Presiden Joko Widodo dalam upaya rehabilitasi mangrove dan restorasi gambut. Pelaksanaan, harus padat karya.
Selain itu, katanya, pemulihan Kuala Selat, sebagai sumber kelapa terbesar di Indragiri Hilir, mesti melibatkan banyak pemangku kebijakan.
“Kita harus kerjasama semua instansi. Memikirkan potensi kelapa terbesar di Indonesia ini. Ribuan masyarakat bergantung hidup dari kelapa. Kalau tidak dikendalikan, mungkin komoditas kelapa di Indragiri Hilir benar-benar akan habis karena intrusi.”
Bambang Hariono, Kabid Infrastruktur dan Lingkungan, Bappeda Indragiri Hilir, memastikan pemerintah akan membangun pemecah ombak. Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) III, tengah menyusun detail engineering design (DED). Ia akan dibangun dengan anggaran pemerintah pusat.
Zainal Arifin Hussein, Direktur Bangun Desa Payung Negeri (BDPN), organisasi masyarakat sipil di Indragiri Hilir mengatakan, bukti nyata krisis iklim tak terbantahkan lagi.
Kerusakan mangrove berdampak pada semua sisi, dari kebun kelapa mati, tangkapan nelayan makin berkurang dan paling mencemaskan ancaman tenggelamnya Kuala Selat diprediksi 10 tahun lagi.
“Alam ini harus kita jaga. Kita harus hidup berdampingan dengan alam. Kalau mau selamat, rumah tidak tenggelam dan kebun tidak rusak, sama-sama menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove,” katanya.
Arifin senada dengan Ahmad. Bencana iklim tidak lepas dari aktivitas manusia. Di darat, masyarakat terus memperluas perkebunan kelapa. Sementara di pesisir, mangrove ditebang untuk kepentingan pembangunan.
Alhasil, tidak ada penyangga masuknya air laut. Baik dari atas maupun menyusup di bawah. Saat ini, mangrove makin menipis dan kurang lebih 50 meter lagi ke bibir pantai, tak dapat membendung air laut.
Dia bilang, masalah iklim makin parah juga karena lambatnya upaya penyelamatan dari pemerintah. Karena sudah terlanjur berdampak, perlu dipikirkan pemberdayaan ekonomi baru atau alternatif. Sembari pelan-pelan mengedukasi masyarakat mempertahankan dan memulihkan kembali mangrove.
“Sangat tidak mungkin kita membiarkan keadaan terus begini. Mau sampai kapan? Jawabannya ada pada kita semua,” kata Arifin.