
Sedikitnya 152 perusahaan mengantre konsesi hutan seluas 4,82 juta hektare. Sesak dengan jejaring taipan penguasa lahan.
- Kementerian Kehutanan menerbitkan konsesi baru di Papua untuk dua perusahaan. Ditengarai terafiliasi dengan First Resources Group.
- Proses perizinan kehutanan makin bermasalah setelah penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja. Sarat kepentingan korporasi.
- Penelusuran Tempo terhadap ratusan pemohon izin menunjukkan kawasan hutan seluas 4,82 juta hektare tengah dibidik jejaring konglomerat.
Nathan Siritoitet, Rendi Pangalila, dan Hendrik Gue terpisah ribuan kilometer. Namun ketiganya menghadapi ancaman serupa. Perusahaan mengkaveling tanah penghidupan mereka untuk dijadikan ladang baru bisnis kehutanan.
Bocoran data permohonan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan atau PBPH mencatat sedikitnya 152 perusahaan antre untuk menjadi tuan tanah baru di atas kawasan hutan seluas 4,82 juta hektare yang tersebar di 26 provinsi. Di tengah tertutupnya informasi tentang proses perizinan, pemerintah mulai mengabulkan sebagian usulan pemohon.
Didukung The Rainforest Reporting Grants, program dana peliputan Pulitzer Center, Tempo mengidentifikasi jejaring aktor di belakang pemohon izin. Kami juga berkolaborasi dengan Yayasan Auriga Nusantara untuk memotret potensi dampak yang bakal ditanggung hutan alam dan masyarakat.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!

N
YARIS tak ada penanda yang menunjukkan bahwa unit kantor di Blok Ruby Kompleks Grand ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan, itu berpenghuni. Di balik pintu yang terkunci hanya terlihat meja penerima tamu dan sebuah buku catatan. Temboknya bersih, tanpa logo atau identitas perusahaan.
Seandainya tidak ada kertas pemberitahuan izin renovasi yang tertempel di kaca depan, tidak ada yang tahu bahwa ruangan tersebut benar markas PT Salawati Hijau Lestari (PT SHL). “Pak Misran kalau tidak di sini biasanya di Manggala,” kata seorang staf yang keluar dari balik ruang tamu setelah mendengar ketukan pintu, Jumat, 23 Mei 2025.
Misran adalah Direktur PT Salawati Hijau Lestari. Ia juga mantan birokrat di Manggala—julukan Kementerian Kehutanan yang berkantor di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Selatan. Terakhir kali, sebelum pensiun pada 2022, Misran menjabat Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari.
Adapun PT Salawati Hijau Lestari belakangan menarik perhatian setelah menggelar perjamuan di Raja Ampat Ballroom Aston Sorong Hotel & Convention Center, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, pada Rabu, 14 Mei 2025. Dalam forum itu, manajemen PT Salawati mengumumkan bahwa perseroan telah mengantongi PBPH dari Kementerian Kehutanan.

Berbekal izin tersebut, PT Salawati akan mengelola kawasan hutan seluas 78.390 hektare—sedikit lebih luas dibandingkan dengan wilayah Jakarta—di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Konsesi perseroan mengiris wilayah Distrik Inanwatan, Matemani, Kokoda, dan Kokoda Utara—sekitar 200 kilometer ke arah tenggara dari Kota Sorong.
Berbicara dalam forum sosialisasi, Misran menegaskan bahwa dukungan masyarakat amat penting agar hutan bisa lestari. “Karena itu, kami ingin seluruh proses pemanfaatan ini transparan dan didasari semangat kerja sama,” ujar Misran.
Sosialisasi itu seolah-olah menjadi tonggak PT Salawati Hijau Lestari untuk muncul di depan publik. Kanal YouTube @SalawatiHijauLestari mulai mengudara dengan konten profil perusahaan. Dua pekan terakhir, akun Facebook @KitorangJagaHutan—yang dibuat pada Januari 2025 dengan foto profil logo PT SHL—juga mulai memuat gambar-gambar berisi kampanye misi perusahaan.
Sebelumnya, kiprah PT SHL tak pernah terdengar. Data permohonan PBPH yang diperoleh Tempo awal tahun ini mencatat nama perusahaan itu sebagai satu di antara 152 pemohon izin baru.
Di Papua Barat Daya, merujuk pada data tersebut, PT SHL bukan satu-satunya pemohon izin. Tepat di sebelah timur area konsesi PT SHL terdapat permohonan izin untuk lahan seluas 100 ribu hektare yang diajukan PT Sorong Hijau Ekosistem (PT SHE). Usulan izin ini berada di wilayah Kabupaten Bintuni, Provinsi Papua Barat.

Kementerian Kehutanan telah menerbitkan izin baru kepada PT SHL dan PT SHE, masing-masing pada 17 dan 21 Januari 2025. Sementara luas area konsesi PT SHL tak jauh berbeda dengan usulan awal, wilayah konsesi PT SHE lebih kecil, yaitu 62.130 hektare. Kendati telah resmi mengantongi izin, setidaknya hingga akhir Mei, PT SHE belum muncul ke depan publik.
Akta perusahaan yang terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum menguatkan dugaan awal bahwa PT SHL dan PT SHE dikendalikan oleh aktor yang sama. Misran juga tercatat sebagai Direktur PT SHE. Adapun pemegang saham PT SHL dan PT SHE bermuara ke satu nama: Angelia Bonaventure Sudirman, cucu Martias Fangiono, taipan pendiri Grup Surya Dumai yang belakangan membangun First Resources.
BOCORAN data berisi antrean pemohon izin kehutanan itu datang pada awal tahun ini. Data itu memuat daftar 152 perusahaan pemohon Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, lengkap dengan peta rencana konsesi yang diusulkan. Jika ditotal, para pemohon mengajukan permohonan izin kehutanan seluas 5,89 juta hektare di 26 provinsi.
Namun sebagian di antara mereka ternyata mengusulkan lisensi di area yang sama atau beririsan. Walhasil, secara riil kawasan hutan yang dibidik para pemohon izin tersebut seluas 4,8 juta hektare—setara dengan luas gabungan wilayah Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Banten.
Pada akhir April 2025, Tempo menerima data kedua yang mencatat daftar PBPH yang telah diterbitkan Kementerian Kehutanan, dulu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dari data terbaru ini diketahui sebanyak 26 perusahaan pemohon PBPH telah mengantongi izin seluas total 969.400 hektare. PT Salawati Hijau Lestari dan PT Sorong Hijau Ekosistem ada di dalamnya.
Dua data itu menjadi petunjuk penting di tengah tertutupnya informasi ihwal perizinan kehutanan. Sejak Mei 2024, melalui Keputusan Sekretaris Jenderal KLHK Nomor 31 Tahun 2024, Kementerian Kehutanan mengklasifikasikan proses perizinan di lingkungan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari sebagai informasi yang dikecualikan untuk publik.
“Menjaga kelancaran tahapan proses penyelesaian permohonan PBPH,” demikian alasan yang tertulis dalam surat keputusan tersebut. Sebelumnya, Kementerian hanya mengecualikan informasi tentang rencana kerja usaha.
Tempo melayangkan surat permohonan wawancara kepada Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada Kamis, 22 Mei 2025. Salinannya juga ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Laksmi Wijayanti. Dalam surat itu, melayangkan surat permohonan wawancara kepada Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada Kamis, 22 Mei 2025. Salinannya juga ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Laksmi Wijayanti. Dalam surat itu, Tempo meminta informasi dan konfirmasi dengan melampirkan daftar perusahaan, baik yang tercantum dalam data pemohon PBPH maupun data penerima izin baru.

Laksmi menyatakan akan memproses surat permintaan klarifikasi Tempo tersebut. “Nanti Kepala Biro Humas akan follow-up,” kata Laksmi pada Kamis, 22 Mei 2025. Ketika ditanyai ulang pada Selasa, 27 Mei 2025, Laksmi menyatakan belum ada arahan lebih lanjut dari Menteri ihwal permintaan klarifikasi Tempo.
Adapun Raja Juli belum mengabulkan permohonan wawancara. Dicegat Tempo di Istana Negara pada Rabu, 28 Mei 2025, dia mengatakan akan mengecek surat Tempo. Dia hanya menjawab singkat ketika ditanya ihwal proses perizinan yang tertutup dan dianggap banyak kalangan cenderung memihak korporasi ketimbang masyarakat adat. “Aman-aman saja itu,” ucap Raja Juli Antoni.
Sebelumnya, dua pejabat di lingkungan Kementerian Kehutanan membenarkan ihwal data tersebut. Seorang pejabat dinas kehutanan di salah satu provinsi yang menjadi lokasi usulan konsesi juga mengamini keberadaan perusahaan dalam dua data tersebut.
PBPH merupakan nomenklatur baru perizinan kehutanan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Perubahan nama ini bertujuan menyederhanakan jenis izin kehutanan yang beragam, seperti bisnis kayu di hutan alam atau hutan tanaman serta kegiatan restorasi ekosistem.

Undang-Undang Cipta Kerja tidak hanya mengubah nomenklatur perizinan, juga jenis pemanfaatan hutan yang dapat dilakukan pelaku bisnis. Pemegang izin sekarang dapat menyelenggarakan multiusaha kehutanan, yaitu beragam jenis pemanfaatan hutan dilakukan dalam satu konsesi. Perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri yang memasok bahan baku pabrik kertas dan bubur kertas, misalnya, kini bisa menyelenggarakan jasa lingkungan—termasuk di dalamnya untuk usaha penyerapan dan perdagangan karbon.
Bagi pemerintah, multiusaha kehutanan menjadi solusi mengoptimalkan nilai ekonomi kawasan hutan di setiap konsesi. Adapun bagi korporasi pemegang izin, multiusaha kehutanan menjadi peluang baru mendapatkan cuan.
Namun, di mata pegiat lingkungan hidup, rezim perizinan kehutanan setelah penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja itu menimbulkan seabrek persoalan. Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia, menilai minimnya partisipasi publik menjadikan proses perizinan kehutanan amat rentan ditunggangi kepentingan kelompok tertentu.
Setelah izin diberikan pun, kata dia, publik tetap kesulitan mengawasi praktik bisnis kehutanan. Sebab, skema multiusaha kehutanan membuat sektor industri ini makin samar—tak bisa dibedakan siapa sedang berbisnis apa di suatu area konsesi.

“Padahal perizinan berusaha sektor kehutanan digolongkan dalam kategori berisiko tinggi,” ujar Anggi. “Seharusnya, makin tinggi risiko suatu industri, makin transparan tata kelolanya.”
Direktur Data dan Informasi Auriga Nusantara Dedy Pratama Sukmara khawatir terhadap rencana penambahan izin baru kehutanan. Hingga akhir 2024, luas area PBPH telah mencapai 29,5 juta hektare, atau seperempat dari total kawasan hutan di Indonesia yang luasnya 120,33 juta hektare.
Selama ini konsesi kehutanan terus menjadi salah satu sumber deforestasi. Sepanjang 2001-2024, Auriga menghitung sedikitnya 2,8 juta hektare tutupan hutan lenyap dari area PBPH. Angka ini setara dengan 25 persen dari total luas deforestasi di Indonesia pada periode yang sama.
Dedy menilai pemberian izin baru akan menambah tekanan bagi hutan alam di Indonesia yang sudah terancam oleh konsesi yang ada dan beragam agenda pembangunan pemerintah. Dia mengingatkan, Kementerian Kehutanan baru-baru ini juga menggulirkan program hutan cadangan pangan dan energi seluas 20,6 juta hektare. Sekitar 8,6 juta hektare di antaranya diperkirakan masih berupa hutan alam.

“Sedangkan sampai sekarang pemerintah sepertinya belum akan menghentikan pemberian izin baru bagi perusahaan,” kata Dedy.
Dugaan Dedy itu merujuk pada Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang 2025-2034. Hasil analisis Auriga menunjukkan, sekitar 8,8 juta hektare kawasan hutan yang belum diduduki perizinan masih dialokasikan sebagai area pemanfaatan skala industri, seperti hasil hutan kayu, bukan kayu, serta jasa lingkungan.
“Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena hutan alam di luar kawasan hutan juga terancam oleh ekspansi perkebunan, terutama sawit dan tanaman energi,” tutur Dedy.
Tingginya tingkat keterancaman hutan alam sebenarnya juga tecermin dalam data permohonan PBPH. Analisis tim kolaborasi peliputan ini memperkirakan sekitar 75 persen dari total 4,82 juta hektare kawasan hutan yang diincar oleh pemohon izin baru masih berupa hutan alam. Area konsesi PT Salawati Hijau Lestari juga begitu, mencakup hutan alam seluas 69.300 hektare.
MELALUI surat elektronik, Misran menjawab pertanyaan Tempo—yang juga ditujukan kepada Angelia Bonaventure Sudirman. Misran membenarkan informasi bahwa PT Salawati Hijau Lestari dan PT Sorong Hijau Ekosistem mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Maret 2022, yang kemudian terbit pada Januari 2025.
Menurut Misran, izin kedua perusahaan itu untuk kegiatan usaha jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu. “Kami berkomitmen pada pertumbuhan yang berkelanjutan dengan melestarikan alam atau lingkungan,” kata dia.
Misran mengatakan perusahaannya sedang menyusun Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan dan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim. Dia berharap, dengan kegiatan mitigasi ini, perseroan dapat menyerap dan menyimpan karbon secara signifikan dan terukur. “Sehingga dapat diperdagangkan melalui offset carbon,” ujarnya.
Menurut Misran, tim PT SHL mulai melakukan serangkaian kegiatan di kampung dan distrik. Kegiatan itu meliputi survei, diskusi kelompok terpumpun, dan proses persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau padiatapa. “Komitmen kami adalah terus membangun kepercayaan melalui dialog yang jujur dan kolaborasi yang produktif,” ucap Misran.

PT SHL memang mulai masuk ke kampung-kampung yang menjadi lokasi konsesi perseroan. Pada Senin, 26 Mei 2025, tim perusahaan menggelar pertemuan di Kampung Puragi, Distrik Matemani, Sorong Selatan, untuk mengabarkan rencana usaha perseroan.
Kampung Puragi merupakan satu dari tiga desa di Distrik Matemani yang sebagian wilayahnya terbelah izin PT SHL. Dua kampung lain adalah Bedare dan Saga. Blok sebelah barat area konsesi perusahaan ini membujur ke selatan hingga di wilayah Distrik Inanwatan, tepatnya di Kampung Odeare, Isogo, dan Mate.
Hendrik Gue, warga Kampung Puragi yang juga perwakilan marga Gue dari sub-suku Iwaro, belum dapat menilai rencana PT SHL. Menurut dia, masyarakat tidak akan keberatan terhadap investasi sepanjang perusahaan membangun ekonomi kampung dan tidak merusak hutan. “Tapi sebetulnya kami masih trauma karena sampai sekarang masalah dengan perusahaan sawit di wilayah adat kami juga belum selesai,” kata Hendrik.
Perusahaan sawit yang dimaksud Hendrik adalah PT Permata Putera Mandiri. Sedekade terakhir, masyarakat adat sub-suku Iwaro berkonflik dengan perkebunan sawit milik PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (PT ANJT) tersebut. “Hutan sagu kami tergusur,” tutur Hendrik. “Rusa, kanguru, dan kasuari sekarang juga makin jauh dicari.”

Hendrik tak tahu PT ANJT telah beralih ke tangan First Resources, kelompok usaha yang dipimpin Ciliandra Fangiono, anak Martias Fangiono yang juga tercatat di peringkat ke-24 daftar orang terkaya Indonesia versi Forbes. First Resources merampungkan akuisisi 91,17 persen saham PT ANJT senilai Rp 5,54 triliun pada 6 Mei 2025.
Tempo mengirimkan permohonan klarifikasi kepada First Resources, lengkap dengan daftar pertanyaan tentang hubungan grup dengan kedua entitas milik Angelia Bonaventure Sudirman, melalui kanal kontak di website perusahaan. Hingga laporan ini diturunkan, belum ada jawaban dari First Resources.
Dalam jawaban tertulis, PT Salawati Hijau Lestari juga tidak menjawab dengan tegas pertanyaan tentang hubungan Angelia sebagai bagian keluarga Martias Fangiono dengan kepemilikan saham perseroan. Misran menjawab pertanyaan lanjutan yang dikirimkan Tempo tentang hal ini. “Peran, tugas, dan tanggung jawab Ibu Angelia di PT SHL dan SHE tidak ada afiliasi dengan grup mana pun,” kata Misran.
Ltentang hal ini. “Peran, tugas, dan tanggung jawab Ibu Angelia di PT SHL dan SHE tidak ada afiliasi dengan grup mana pun,” kata Misran. Tempo ini bukan hanya tentang antrean permohonan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dan pemberian izin kehutanan baru di Sorong Selatan. Korporasi pemohon konsesi baru di daerah lain mirip PT Salawati Hijau Lestari dan PT Sorong Hijau Ekosistem: diduga terafiliasi dengan konglomerat dan membidik kawasan hutan untuk dijadikan ceruk bisnis baru di era mitigasi krisis iklim.
Di Kalimantan, wilayah dengan usulan konsesi baru paling luas, sejumlah perusahaan pemohon PBPH ditengarai terafiliasi dengan Grup Triputra, Grup Integra, dan Grup Harita. Beberapa perusahaan pemegang izin baru juga dikabarkan menggaet raksasa bisnis lain, seperti PT Nusantara Raya Solusi yang menjalin peluang kerja sama dengan anggota keluarga Eka Tjipta Widjaja, pendiri Grup Sinar Mas, untuk menjalankan proyek karbon di Kalimantan Tengah.

Data perizinan baru untuk 26 perusahaan pemohon konsesi memang mengindikasikan banyak perusahaan hendak mengembangkan bisnis karbon. Mereka menyelenggarakan skema multiusaha kehutanan, mengkombinasikan bisnis hasil hutan bukan kayu dan pengelolaan jasa lingkungan—yang memayungi kegiatan penyerapan dan perdagangan karbon.
Kredit karbon sebenarnya bukan barang baru di industri kehutanan. Lebih dari satu dekade lalu, belasan perusahaan telah memelopori model bisnis ini dengan mengantongi izin restorasi ekosistem. Namun, beberapa tahun terakhir, inkonsistensi kebijakan pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadikan industri baru ini bak mati suri.
Pemerintahan baru agaknya mengambil langkah berbeda. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029, yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 10 Februari 2025, mencatat sederet rencana pemerintah mengoptimalkan nilai ekonomi karbon dan menggenjot kontribusi sektor kehutanan terhadap produk domestik bruto.
Sebelumnya, dalam Konferensi Perubahan Iklim ke-29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, Senin, 11 November 2024, Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup tengah memfinalkan penilaian ulang terhadap 600 juta ton stok karbon di Indonesia. “Kami berharap bisa menawarkannya kepada dunia dalam beberapa bulan ke depan,” kata adik Prabowo itu.

Ditemui Tempo pada Rabu, 16 April 2025, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq sedikit menjawab pertanyaan tentang antrean permohonan PBPH. Namun Direktur Jenderal Planologi Kehutanan di era Menteri Siti Nurbaya Bakar ini enggan penjelasannya dikutip.
Hanif hanya mau berbicara tentang upaya Kementerian Lingkungan Hidup mendorong kelahiran mekanisme perdagangan karbon di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU). “Dalam waktu segera akan terjadi perdagangan karbon yang sangat dinamis,” ujar Hanif dalam wawancara lanjutan pada Jumat, 9 Mei 2025.
Namun lagi-lagi hasil penelusuran Tempo mendapati pasar yang diklaim sebagai bagian pengendalian perubahan iklim itu juga sudah dipenuhi jejaring konglomerasi hutan, sawit, dan tambang.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hutan Incaran Taipan. Liputan ini didukung The Rainforest Reporting Grant Pulitzer bekerja sama dengan Yayasan Auriga Nusantara. Kepala Proyek: Agoeng Wijaya ● Penulis: Agoeng Wijaya, Fachri Hamzah ● Penyumbang Bahan: Yohanes Paskalis, Gamaliel M. Kaliele (Sorong), Maria Baru (Sorong Selatan) ● Penyunting: Agoeng Wijaya, Dody Hidayat ● Fotografer: Tony Hartawan ● Analisis Data Spasial: Andhika Younastya (Auriga Nusantara) ● Multimedia: Krisna Adhi Pradipta, Rizkika Syifa, Rio Ari Seno, Novandy Ananta.