Translate page with Google

Story Publication logo December 11, 2023

Indigenous Forest Recognition Is a Race Against Time (bahasa Indonesia)

Country:

Authors:
a person collecting plants in the rainforest
English

Many Indigenous communities are trying to get their customary forest status recognized by the...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS
Masyarakat Hukum Adat Talun Sakti di Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Kamis (24/11/2023), sudah 7 tahun menanti pengakuan negara atas hutan adat mereka.
The Talun Sakti Customary Law Community in Muara Seluro Hamlet, Raden Anom Village, Batangasai, Sarolangun Regency, Jambi, Thursday (24/11/2023), has been waiting seven years for state recognition of their customary forest. Image by Irma Tambunan. Indonesia, 2023.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.


The struggle for state recognition of Indigenous forests across Sumatra and Kalimantan has been marred by prolonged processes, regulations, and limited commitment from government institutions. The delays have left Indigenous communities vulnerable to various threats and conflicts while awaiting recognition of their ancestral lands.

Numerous Indigenous groups have submitted complete documentation to the government for recognition, yet they still await certainty regarding the state's acknowledgment of their forests. This waiting period has exposed these traditional lands to threats such as illegal mining activities.

Efforts have been made by the Ministry of Environment and Forestry to streamline the recognition process through new regulations, integrating teams to expedite the verification and designation of Indigenous territories. Yet despite these efforts, challenges persist due to regional differences, a lack of understanding, and budgetary constraints.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Pengakuan Hutan Adat Berkejaran dengan Waktu

Negara harus cepat mengakui hutan adat bagi masyarakat hukum adat demi menghindari konflik agraria di sejumlah wilayah.


JAKARTA — Satu dasawarsa lebih skema pengakuan atas hutan adat terhalang banyak aturan dan lemahnya komitmen lembaga negara. Proses yang berjalan lambat mengakibatkan masyarakat hukum adat berkejaran menangkal berbagai ancaman.

Liputan Kompas pada lima wilayah di Pulau Sumatera dan Kalimantan, November-awal Desember 2023, menunjukkan banyak masyarakat adat telah bertahun-tahun menanti hutan warisan leluhurnya diakui negara. Selama itu pula mereka dilanda ancaman dan konflik agraria.

”Semua bahan sudah lengkap dan berkasnya telah disampaikan ke pemerintah, tetapi sampai hari ini belum ada kepastian pengakuan negara,” ujar M Sapar, Ketua Masyarakat Hukum Adat Talun Sakti di Kabupaten Sarolangun, Jambi, Minggu (10/12/2023).

Selama tujuh tahun masyarakat menunggu penetapan hutan adat itu. Dalam masa penantian, hutan adat itu sempat dirambah petambang emas ilegal dari luar desa. Masyarakat dengan cepat berjuang mengusir. Meski pelaku tambang tidak berani lagi masuk, masyarakat butuh kepastian hukum akan status hutan adat mereka.

Animo usulan pengakuan hutan adat marak sejak berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012. Putusan itu menetapkan hutan adat tidak menjadi hutan negara. Putusan itu ditindaklanjuti lewat Peraturan Menteri LHK dan Peraturan Mendagri tentang Pedoman Pengakuan Masyarakat Adat.

Aturan mengharuskan penetapan hutan adat didahului dengan pengakuan masyarakat hukum adat lewat pembuktian eksistensi mereka. Proses ini memakan waktu panjang melalui pelibatan riset dan dukungan fasilitator untuk memastikan hutan telah 20 tahun lebih dikelola masyarakat. Proses berlanjut verifikasi yang tak kalah panjang oleh pemerintah daerah dan pusat. Untuk setiap usulan hutan adat, rata-rata akan memakan proses lebih dari 5 tahun.

Berkat Arus, Ketua BPD Desa Kinipan, membawa tanaman obat di lokasi yang dibuka perusahaan kebun sawit di Lamandau, Kalimantan Tengah, Minggu (20/1/2019). Mereka meratapi bekas rimba hilang digusur sawit.
Berkat Arus, Ketua BPD Desa Kinipan, membawa tanaman obat di lokasi yang dibuka perusahaan kebun sawit di Lamandau, Kalimantan Tengah, Minggu (20/1/2019). Mereka meratapi bekas rimba hilang digusur sawit. Foto oleh Dionisius Reynaldo Triwibowo. Indonesia, 2019.

Selain di Sarolangun, proses pengakuan hutan adat di berbagai daerah berlarut-larut. Hutan Adat (HA) Rungan di Kalimantan Tengah memakan waktu 12 tahun. Dari masuk usulan 2011, baru diakui 2023. HA Bukit Bujang di Jambi memakan waktu 8 tahun. HA Mukim Paloh di Aceh berproses hingga 7 tahun.

Di Kalteng, lamanya proses hutan adat berdampak eskalasi konflik hingga jatuhnya korban jiwa. Anggota masyarakat adat Kinipan dan warga di Kotawaringin Barat kini mendekam di balik jeruji. Ada pula anggota komunitas adat di Seruyan tewas ditembak.

Sektoral jadi penghalang

Sejak 2016 hingga Desember 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan 244.195 hektar hutan adat dalam 131 surat keputusan. Itu menaungi 76.079 masyarakat adat pada 20 provinsi.

Direktur Advokasi Kebijakan Hak AMAN Pusat Muhammad Arman mengatakan, kendalanya ada di cara kerja hukum yang sektoral. ”Dalam analisis kami, sedikitnya ada 33 undang-undang yang mengatur tentang masyarakat adat. Masing-masing memiliki cara pandangan berbeda tentang subyek masyarakat adat dan juga obyek hak yang diatur,” katanya.

Kendala lainnya, Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tidak membatalkan Pasal 67 dari undang-undang tersebut. Pasal itu memberikan pengakuan masyarakat adat secara bersyarat melalui pemerintah daerah. Artinya, hutan adat hanya bisa didapatkan jika sudah tertuang lewat peraturan daerah (perda). Untuk proses ini memakan perumusan yang berlarut-larut dan berbiaya besar.

Per November 2023, pihaknya mencatat 232 produk hukum daerah terkait pengakuan masyarakat dan wilayah adat. Bentuknya berupa SK bupati, peraturan bupati, perda provinsi, SK gubernur, maupun peraturan gubernur. ”Dengan demikian, tantangan utama sebenarnya adalah soal pengakuan bersyarat itu,” ujar Arman.

Masyarakat hukum adat beristirahat di pondok seusai melakukan patroli di dalam hutan adat milik Mukim Blang Birah, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh
Masyarakat hukum adat beristirahat di pondok seusai melakukan patroli di dalam hutan adat milik Mukim Blang Birah, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Foto oleh Zulkarnaini. Indonesia, 2023.

Yuli Prasetyo Nugroho, Kepala Subdirektorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, menjelaskan, pemerintah telah berupaya mengefektifkan penetapan hutan adat lewat PP tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Aturan itu merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. Banyak terobosan dibuat terkait wilayah adat, wilayah indikatif, dan tim yang memadukan kerja masyarakat hukum adat.

PP ini mengatur penetapan wilayah hutan indikatif yang lebih berkekuatan hukum ketimbang penetapan indikatif sebelumnya yang setara dengan penetapan perhutanan sosial lainnya dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Aturan ini otomatis menghapus skema pencadangan hutan adat yang sempat digunakan untuk penyelesaian konflik atas tumpang tindih hutan.

Penetapan indikatif bersamaan dengan tahapan pusat dan daerah. ”Kalau peraturan yang dahulu kita menunggu SK Bupati dulu (untuk verifikasi). Kalau sekarang bisa bersamaan dengan proses pembuatan SK Bupatinya. Pak bupati menentukan masyarakat adatnya di mana. Kalau belum ada petanya, kita turun bareng-bareng,” jelasnya.

Tim terpadu melibatkan pusat, provinsi, kabupaten, dan Kesatuan Pengelolaan Hutan sekaligus. Ini memungkinkan efisiensi dalam proses hutan adat. Namun diakuinya, tak jarang proses terhambat karena minimnya pemahaman atau kemauan politik di daerah.

Efektivitas dalam verifikasi dan kolaborasi pusat bersama daerah juga mampu menolong anggaran penetapan hutan adat KLHK yang terbatas. Anggaran pengakuan hutan adat stagnan dari tahun ke tahun. Hanya mampu menetapkan 15 hutan adat per tahun. ”Tapi, capaian kita tidak flat (stagnan),” katanya.

Sudah ditetapkan 131 SK Hutan Adat oleh pemerintah dengan luas 244.195 hektar. Bandingkan dengan lima tahun sebelum aturan keluar baru keluar pada 2021, hanya 78 SK Hutan Adat keluar dengan luas 100.000 hektar.

Anggota Masyarakat Adat Simenak Henak, Andreas Sinambela (27), membersihkan pohon kemenyan dalam hutan adat di Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Kamis (16/11/2023).
Anggota Masyarakat Adat Simenak Henak, Andreas Sinambela (27), membersihkan pohon kemenyan dalam hutan adat di Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Kamis (16/11/2023). Foto oleh Nikson Sinaga. Indonesia, 2023.

Saat ini, 836.141 hektar hutan indikatif didaftarkan. Salah satu wilayah indikatif hutan adat terbaru, misalnya Hutan Adat Simenak Henak di Sumatera Utara. Penetapan hutan adat itu tinggal menunggu tanda tangan SK Bupati Toba. Ironisnya, Bupati Toba tidak mau mengeluarkan SK pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayahnya.

”Presiden saja menyerahkan langsung SK hutan adat kepada masyarakat adat. Namun, bupati masih mempertanyakan keberadaan masyarakat adatnya. Ini sangat ironis,” kata Roganda Simanjuntak, Ketua Dewan AMAN Wilayah Tano Batak.

RELATED TOPICS

yellow halftone illustration of an elephant

Topic

Environment and Climate Change

Environment and Climate Change
a yellow halftone illustration of a truck holding logs

Topic

Rainforests

Rainforests

RELATED INITIATIVES

yellow halftone illustration of a logging truck holding logs

Initiative

Rainforest Reporting

Rainforest Reporting

Support our work

Your support ensures great journalism and education on underreported and systemic global issues